Menjadi khatib dan mubalig tidak boleh kehabisan bahan dan bingung harus menyampaikan materi tentang apa. Jamaah Jumat harus diberi pencerahan dan motivasi agar keberagamaannya semakin kokoh. Buku khutbah yang ditulis oleh Ustadz Drs. H. Ahmad Yani ini bisa dijadikan rujukan, bahkan puluhan ribu khatib sudah menjadikan buku ini untuk berkhutbah dan berdakwah. Buku setebal 478 halaman ini sudah terbit dan cetak ulang sebanyak 12 kali sejak tahun 1999.
Buku ini dirasakan betul manfaatnya, khususnya oleh para khatib karena disusun secara singkat, padat, sistematis dan bahasa yang sederhana. Karenanya tidak hanya mudah dipahami, tapi juga mudah disampaikan lagi. Diantara contohnya adalah:
Tiga Faktor Penyelamat:
Sidang Jum’at Yang Dimuliakan Allah.
Kejayaan dan kemuliaan yang dicapai seseorang, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa tidak menutup kemungkinan mengalami kehancuran. Kehancuran itu akan terjadi manakala manusia tidak menuruti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kehancuran atau keruntuhan harus kita cegah dengan selalu memperhatikan dan menuruti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw memberikan pertunjuk kepada kita agar dapat menyelamatkan diri dari kehancuran. Dalam haditsnya, Rasulullah saw bersabda:
ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيةُ الله فِى السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْعَدْلُ فِى الرِّضَى وَالْغَضَبِ وَالْقَصْدُ فِى الْفَقْرِ وَالْغِنَى
Ada tiga perkara yang dapat menyelematkan: takut kepada Allah, baik pada waktu sembunyi (sepi) maupun terang-terangan, berlaku adil baik pada waktu rela maupun marah dan hidup sederhana baik waktu miskin maupun kaya (HR. Thabrani dari Anas ra).
Sidang Jum’at Rahimakumullah.
Dari hadits di atas, ada tiga petunjuk Rasulullah saw kepada kita agar dapat menghindarkan diri dari kehancuran sehingga selamat dalam hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu, tiga petunjuk Rasul ini perlu kita pahami bersama-sama.
Pertama, kalau kita mau memperoleh keselamatan yang berarti terhindar dari kehancuran adalah memiliki rasa takut Kepada Allah. Hal ini karena takut kepada Allah merupakan sesuatu yang amat penting dalam hidup ini. Dengan sifat ini manusia tidak berani melanggar ketentuan Allah swt sehingga dia akan selalu menuruti perintah-perintah Allah dan manjauhi larangan-larangan-Nya.
Namun yang harus kita pahami, takut pada Allah berarti takut pada murka, siksa dan azab-Nya yang membuat kita harus meninggalkan segala hal yang akan mendatangkan siksa, azab dan kemurkaan-Nya itu. Rasa takut kepada Allah seperti ini harus kita tunjukkan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga serta dimanapun kita berada, karena Allah Maha Mengetahui apapun yang kita lakukan dan dimanapun kita melakukannya.
Sedangkan Allah SWT sendiri harus kita dekati sehingga kapan, dimanapun dan bagaimanapun situasi dan kondisinya harus membuat kita merasa dekat dengan Allah swt, karenanya ada perintah di dalam Islam untuk taqarrub ilAllah atau mendekatkan diri kepada Allah swt.
Manakala seseorang telah memiliki rasa takut Kepada Allah swt, maka dia menjadi orang yang mudah menerima peringatan sehingga dapat mengubah pola hidupnya dari yang tidak benar menjadi benar, Allah swt berfirman:
Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat. Dan barangsiapa mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali (mu) QS Fathir [35]:18).
Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Faktor kedua yang membawa manusia pada keselamatan adalah berlaku adil. Hal ini karena, kehidupan suatu masyarakat juga akan selamat dari malapetaka manakala kedilan ditegakkan. Karena itu banyak sekali ayat dan hadits yang memerintahkan kita berlaku adil, baik adil kepada orang yang kita sukai maupun orang yang kita benci.
Jangan sampai seseorang berlaku adil kepada orang yang disenanginya dengan memberikan kemudahan yang berlebihan, sedangkan kesalahannya ditutup-tutupi dan tidak dihukum sebagaimana mestinya meskipun tingkat kesalahannya sangat besar, sementara orang orang yang tidak disukainya jangankan diberi kemudahan, kesalahan kecil pun diberi hukuman dengan sangat berat hingga melebihi batas kesalahannya, salah satu ayat yang memerintahkan kita berlaku adil adalah firman Allah swt:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS An Nahl [16]:90).
Meskipun demikian, seorang muslim jangan sampai salah paham terhadap keadilan lalu dia menjadi bingung harus bersikap bagaimana. Adil adalah berpihak pada kebenaran dan memegangnya erat-erat sehingga todak berat sebelah, tidak memihak kepada salah satu kelompok atau orang tertentu. Karena itu, Rasulullah saw telah menunjukkan sikapnya yang akan memotong tangan Fatimah, anaknya bila mencuri.
Sikap ini merupakan keadilan sehingga jangankan orang lain, anak sendiri saja kalau bersalah tetap akan dihukum , bukan seseorang yang bersalah tapi orang lain yang dituntut menanggung bebannya. Dalam krisis ekonomi sekarang, masyarakat juga amat mendambakan keadilan ekonomi sehingga yang menjadi penyebab krisis ubu seharusnya dituntut tanggungjawabnya.
Sahabat Umar bin Khattab RA ketika menjadi khalifah telah menunjukkan keadilannya. Kala itu, Ali mengajukan gugatan atas orang Yahudi yang telah mencuri baju perangnya dan tentu saja orang Yahudi itu menyangkal. Tapi karena Ali juga juga tidak bisa menunjukkan saksi yang dapat menguatkan dan membuktikan tuduhannya.
Umar pun tidak mau mengambil keputusan sewenang-wenang, akhirnya Umar memenangkan perkara orang Yahudi itu. Ternyata diluar sidang orang Yahudi itu tergugah dengan keadilan yang mengagumkan dari sang khalifah, akhirnya diapun mengakui kesalahannya dan menyatakan diri masuk Islam. Kehidupan pribadi dan masyarakat memang akan berjalan dengan baik manakala keadilan ditegakkan.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Yang terakhir atau yang ketiga yang merupakan faktor penyelamat dalam kehidupan kita adalah memiliki kesederhanaan. Hal ini karena, sederhana merupakan pola hidup yang dapat membawa kebahagiaan bagi manusia. Mungkin timbul pertanyaan di benak kita, mengapa dalam hadits di atas Rasulullah saw memerintahkan hidup sederhana baik di waktu fakir maupun diwaktu kaya, saat kaya mungkin pantas kalau seseorang diperintah untuk sederhana dalam hidupnya, tapi mengapa diperintah juga hidup sederhana diwaktu fakir?.
Hidup sederhana memang harus dijalani dalam dua keadaan. Saat kaya orang harus tetap sederhana sehingga dia tidak menghambur-hamburkan kekyaannya untuk sesuatu yang sia-sia dan bermewah-mewah. Sedangkan diwaktu miskin, seseorang juga harus hidup sederhana agar apa yang dimiliki orang kaya yang memang dibutuhkan oleh si kaya tidak menjadi ambisi yang berlebihan oleh si miskin. Si miskin tidak usah berpenampilan atau bergaya hidup seperti orang kaya kalau memang dia tidak mampu.
Sebagai contoh, kalau ukuran kekayaan adalah memiliki kendaraan pribadi, pada dasarnya hal itu bolehboleh saja, hanya masalahnya kalau miskin seseorang tidak mampu membelinya, tapi karena ingin tampil seperti orang kaya, akhirnya ia harus menjarah milik orang lain atau dengan cara berutang kesana kemari dalam jumlah yang besar, padahal dia tidak sanggup membayarnya.
Apalagi utang akan membuat manusia tidak memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya, mendapatkan gaji tidak membuat dia senang karena harus bayar utang, begitu juga mendapatkan keuntungan. Krisis moneter yang berkepanjangan di negeri kita adalah karena utang yang besar; utang Negara berjumlah besar dan utang swasta lebih besar lagi. Itu sebabnya salah satu do’a yang selalu dipanjatkan Nabi Muhammad saw setiap harinya adalah:
اَللَّهُمَّ اِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
Ya Allah lindungi aku dari lilitan utang dan dominasi orang lain.
Karena itu, salah satu larangan yang disebut dalam Al–Qur’an adalah berlaku tabzir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pemborosan meskipun kurang tepat karena pemborosan itu bermakna berlebihan, sedangkan tabzir adalah membelanjakan harta kekayaan untuk perbuatan maksiat, keangkuhan dan ingin dikenal atau dipuji.
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an dikutip pendapat Al Qasimi yang mendefinisikan at tabzir dengan membelanjakan harta untuk perbuatan yang haram atau makruh atau menyerahkan harta benda kepada yang tidak berhak menerimanya.
Sedangkan pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas yang dikutip adalah membelanjakan harta untuk sesuatu selain yang benar. Karena itu, meskipun sedikit atau kecil jumlahnya, mengeluarkan harta untuk selalu yang bertentangan dengan ajaran Islam termasuk tabzir dan pelakunya adalah mubadzdzir yang berarti saudara syaitan, Allah swt berfirman:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS Al Isra [17]:26-27).
Dengan demikian, pola hidup sederhana bukanlah didengungkan pada saat krisis ekonomi seperti sekarang ini dan bukan hanya untuk yang miskin, tapi juga untuk yang kaya, bukan hanya untuk yang kaya tapi juga untuk yang miskin.
Akhirnya, semakin kita sadari kalau kehidupan yang selamat, bahagia dunia dan akhirat hanya bisa kita raih manakala kita jalani yang sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dengan kembali kepada Islam, kita kembali meraih kejayaan, kemuliaan, dan keagungan pribadi sebagai muslim.
Demikian khutbah Jum’at kita yang singkat pada hari ini, semoga bermanfaat bagi kita bersama, amien.
Untuk lebih jelas isi buku ini, daftar isinya sebagai berikut:
Kata Pengantar
1. Globalitas Ajaran Islam
2. Menyambut Kedatangan Ramadhan
3. Persiapan Ramadhan
4. Hakikat Ibadah Ramadhan
5. Tarbiyyah Ramadhan
6. Optimalisasi Ibadah Ramadhan
7. Hikmah Zakat
8. Kembali Kepada Fitrah
9. Merajut Kembali Benang Ukhuwah
10. Menuju Umat Terbaik
11. Makna Ibadah Haji
12. Nuansa Ibadah Haji
13. Menumbuhkan Semangat Berkorban
14. Mengapa Ibadah Kepada Allah
15. Peringatan Dari Hijrah
16. Hakikat Hijrah
17. Tantangan Perjuangan
18. Membangun Keluarga Islami
19. Profil Masyarakat Islami
20. Pendidikan Seks dan Batas-Batas Pergaulan
21. Jual Beli Kepada Allah
22. Berpirau Dalam Kehidupan
23. Urgensi Memahami Sirah Nabawiyah
24. Tiga Faktor Penyelamat
25. Tiga Faktor Perusak
26. Empat Perkara Yang Tidak Merugikan
27. Tanda Muslim Jahili
28. Kunci Surga
29. Jaminan Menggapai Surga
30. Kemerdekaan dan Kemaksiatan
31. Tanggungjawab Dakwah
32. Takut Kepada Allah
33. Dzikir, Syukur dan Ibadah Yang Baik
34. Menggapai Ketenangan Jiwa Yang Islami
35. Membina Kekuatan Rohani
36. Kunci Kebahagiaan
37. Berlindung Dari Penyakit Mental
38. Generasi Kecintaan Allah (1)
39. Generasi Kecintaan Allah (2)
40. Yang Dimurkai Allah
41. Keharusan Seorang Muslim
42. Manisnya Iman
43. Konsekuensi Iman Dalam Kehidupan
44. Janji Allah Untuk Para Mukminin (1)
45. Janji Allah Untuk Para Mukminin (2)
46. Janji Allah Untuk Para Mukminin (3)
47. Sombong dan Dampak Negatifnya
48. Upaya Menghilangkan Sifat Sombong
49. Bekerja Itu Ibadah
50. Keuntungan Beramal Shaleh (1)
51. Keuntungan Beramal Shaleh (2)
52. Masjid dan Politik
Contoh Muqaddimah, Penutup dan Khutbah Kedua
Khotbah Idul Fitri
Khotbah Idul Adha
Penulis: Sekretaris Departemen Dakwah dan Pengkajian Pimpinan Pusat (PP0 Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ustadz. Drs. H. Ahmad Yani