DMI.OR.ID, JAKARTA – Jelang peringatan 70 tahun kemerdekaan, Republik Indonesia (RI) harus kembali kepada jati diri bangsa yang sejak awal bercita-cita untuk merdeka seutuhnya dengan konsep kemandirian dan profesionalisme di segala bidang.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Drs. H. Imam Addaruqutni, MA, menyatakan saat ini Indonesia sedang mengalami paradoks dan anomali kemerdekaan akibat ketergantungan yang tinggi terhadap barang dan jasa impor, termasuk kebutuhan pokok bangsa ini.
“Secara sosial ekonomi, sebagian besar kebutuhan bangsa kita masih impor. Padahal, konsep kemandirian bangsa sangat didasarkan pada kekuatan dalam negeri. Tetapi kita ini aneh, ada anomali karena kebutuhan impor barang dan jasa terjadi terus menerus, termasuk kebutuhan pokok. Ini sebuah paradoks di hari kemerdekaan RI,” tutur Imam pada Jum’at (14/8) malam.
Imam yang juga Wakil Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) itu menyatakannya pada Jum’at (14/8) malam, saat diwawancarai DMI.OR.ID di Sekretariart PP DMI, Jakarta.\
Makna 70 tahun kemerdekaan ini, lanjutnya, ialah kita harus kembali ke jati diri bangsa yang sejak awal bercita-cita ingin merdeka seutuhnya. Pertama, kebutuhan pokok harus dikembalikan lagi sebagai kebutuhan dasar bangsa Indonesia (bukan impor), dengan megembalikan masyarakat ke habitat aslinya.
“Para pengambil kebijakan tidak mampu memberdayakan dan mengelola habitat bangsa Indonesia secara baik. Hutan kita dikuras habis-habisan bukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kekayaan lautan juga sudah lama dikuras habis-habisan oleh berbagai kekuatan asing. Baru saat ini saja mulai dikelola dengan baik,” ungkap Imam.
Apalagi, ungkapnya, jumlah masyarakat usia produktif bangsa Indonesia memiliki tingkat keterbelakangan sangat tinggi di bidang pendidikan dan profesionalisme. “Dibandingkan dengan negara-negara se-kawasan (Asia Tenggara) dan negara-negara lainnya, Pendidikan dan profesionalisme kita sangat tertinggal,” jelasnya.
Menurutnya, investasi sumber daya manusia Indonesia juga sangat rendah. Jika permasalahan ini tidak ditanggulangi dengan baik dan radikal, bangsa Indonesia tidak akan pernah merdeka seutuhnya.
“Segelintir orang-orang Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi justru banyak diambil dan diserap oleh kekuatan-kekuatan asing. Mereka kelak akan menjadi agen-agen penjajahan gaya baru karena telah di brain wash (cuci otak). Di sisi lain, banyak penduduk usia produktif yang justru bekerja di luar negeri karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Situasi ini, jelasnya, merupakan proses ke arah neokolonialisme dan neoliberalisme. Penjajahan gaya baru ini sangat berbahaya bagi bangsa.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani