DMI.OR.ID, CIREBON – Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang juga dikenal dengan Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon tidak dapat dipisahkan dari nama besar salah satu Wali Songo penyebar agama Islam di pulau Jawa bagian barat, yakni Syeikh Syarif Hidayatulah alias Sunan Gunung Jati. Adapun sang arsitek masjid ialah Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said, salah satu dari Wali Songo yang sangat fenomenal di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masjid ini juga tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Kesultanan Cirebon dan Keraton Kasepuhan yang menjadi pusat kekuasaan dan penyebaran Islam di Pulau Jawa bagian Barat.
Alhamdulillahi Rabbil A’lamiin, penulis berkesempatan untuk hadir dan menunaikan sholat dzuhur berjama’ah serta sholat sunnah ba’diyah dzuhur di Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada Sabtu (16/9) siang. Kunjungan ini bertepaan dengan pembukaan Festival Keraton Nusantara (FKN) XI di alun-alun Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat (Jabar). Acara ini dubiuka secara remi oleh Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat dari Keraton Kasepuhan, dan Gubernur Jawa Barat, DR. H. Ahmad Heryawan Lc., M.Si.
Berdasarkan pantauan DMI.OR.ID, konstruksi Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berdiri sekitar tahun 1480 M ini mengingatkan penulis terhadap masa-masa awal penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, khususnya kota Cirebon. Misalnya, arsitektur mihrab masjid mengadopsi lambang Surya (matahari) khas Kerajaan Majapahit, dengan dominasi warna putih. Mihrab masjid ini juga dilengkapi dengan ukir-ukiran dan ornamen khas Cirebon, serta terletak di ruang utama masjid (bangunan asli). Mihrab menjadi tempat Imam memimpin sholat berjama’ah sekaligus patokan (sentral) utama penunjuk arah kiblat di masjid. Sedangkan warna putih berarti kesucian, jadi orang yang sholat harus dalam kondisi bersih dan suci dari hadats kecil maupun besar, lalu berwudhu dengan air.
Pagar yang mengelilingi masjid ini terbuat dari batu bata berwarna merah yang bagian depannya (gerbang utama) berbentuk gapura, lengkap dengan aksara Arab di bagian atasnya yang berwarna putih dan bertuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Adapun karpet di ruang utama masjid berwarna merah, lengkap dengan tiang-tiang masjid berukuran besar yang terbuat dari kayu jati. Penulis juga melihat sebuah pintu kecil saat memasuki ruang utama dari arah serambi masjid. Jadi setiap jama’ah harus menundukkan kepala dan badan hingga 45 derajat ketika hedak memasuki ruang utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Perilaku ini penulis pahami sebagai simbolisasi dari prinsip dalam syariat Islam bahwa hanya Allah SWT saja-lah yang Maha Besar, Maha Berkuasa, dan Maha Tinggi, bukan makhluk ciptaan-Nya di alam semesta, termasuk manusia. Konsekuensinya, setiap manusia tidak boleh bersikap tinggi hati (sombong) terhadap sesama, bahkan harus rendah hati terhadap manusia lainnya. Meskipun manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna di dunia, karena dianugerahi akan dan nafsu serta mengemban amanat sebagai khaiftullah fil ardh (khalifah Allah di muka bumi), namun tetap saja manusia harus menyembah dan beribadah hanya kepada Allah SWT serta tidak menyekutukan-Nya.
Hal unik lainnya dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa ialah adanya dua buah maksura yang terletak masing-masing di sudut kanan bagian depan masjid (sebelah kanan mihrab) dan di sudut kiri bagian belakang masjid (sebelh kiri mihrab). Dahulu, untuk alasan keamanan, maksura di bagian depan berfungsi sebagai teipta mpat khusus bagi para Sultan dari Keraton Kasepuhan untuk beribadah. Sedangkan di bagian belakang juga memiliki fungsi yang sama, namun khusus bagi Sultan dari Keraton Kanoman. Kedua maksura itu terbuat dari kayu jati yang dicat dengan warna hitam, lengkapd dengan sebuah sajadah yang memiliki ornamen-ornamen khas Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Saat ini, jama’ah umum juga boleh beribadah di dalam maksura itu, kecuali jika Sultan sedang beribadah di dalamnya.
Selain itu, penulis juga melihat tujuh buah mikrofon pada bagian tengah di dalam bangunan utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Ketujuh mikrofon ini digunakan untuk azan oleh tujuh orang muazin dalam prosesi ibadah sholat Jumat. Tradisi yang dikenal publik dengan sebutan Azan Pitu ini dilakukan pada azan pertama, serta menjadi ciri khas ibadah sholat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Tradisi ibadah serupa tidak akan kita temui di masjid-masjid lainnya di Indonesia. Tradisi Azan Pitu ini telah berlangsung sejak sekitar 500 tahun lalu di era Sunan Gunung Jati.
Seperti dikutip dari laman http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2009/09/05/96384/azan-pitu-di-masjid-agung-sang-cipta-rasa, tertulis bahwa tradisi Azan Pitu terjadi ketika masjid yang dahulu beratapkan rumbia itu terbakar hebat. Pengurus masjid pun melakukan berbagai upaya untuk memadamkan api, namun selalu saja gagal. Kepala Kaum/ Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Agung Sang Cipta Rasa, H. Azhari, menceritakan kisah itu pada 5 September 2009 lalu.
Akhirnya istri Sunan Gnung Jati, Nyi Mas Pakungwati, berinisiatif agar segera dikumandangkan azan untuk memadamkan api oleh seorang muazin. Namun api belum padam juga sehingga azan dilantunkan lagi oleh dua orang muazin. Begitu seterusnya azan dikumandangkan berturut-turut oleh tiga, empat, hingga tujuh orang muazin. “Konon setelah azan dimunandangkan oleh tujuh orang, barulah api itu padam. Sejak saat itu, tradizi azan pitu dilestarikan hingga kini,” ucap Azhari.
Menurutnya, api yang membakar Masjid Agung Sang Cipta Rasa itu disebabkan oleh ulah makhluk ghaib bernama Menjangan Wulung yang berwatak jahat. Di Bali, makhluk ini disebut juga leak. Adapun tujuh orang muazin itu merupakan pengurus masjid yang telah dipilih oleh penghulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Mochammad Sanusi (63 tahun) menyatakan bahwa dirinya sudah mengabdi sebagai muazin sejak 25 tahun yang lalu. Menurutnya, meskipun tidak ada persyaratan khusus, namun sebagian besar muazin merupakan keturunan dri muazin sebelumnya. “Kebetulan ayah dan moyang saya dulu juga muazin dan turun-temurun hingga saya saat ini,” tutur Sanusi yang juga muazin tertua di masjid ini.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani