Bahagia adalah perasaan yg sangat di damba-dambakan oleh setiap manusia. Namun banyak manusia tidak memahami hakikat kebahagian itu.
Ada yang menganggap bahwa bahagia itu adalah ketika memiliki harta yang melimpah, ada pula yang menganggap bahagia itu adalah ketika ia mendapatkan apa yang ia impikan. Padahal mereka melupakan satu hal yakni ketenangan. Ketenangan adalah kondisi manusia ketika tidak mempunyai beban dengan keadaan apapun. Hal inilah yang kemudian disebut ikhlas.
Kondisi ikhlas tidak memandang apapun yang diperoleh atau dialami dirinya, ia hanya menghendaki keridhaan Allah dalam setiap amalnya (perbuatannya) membersihkannya dari segala individu maupun keduniawian (kedunyan). Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, baik itu kecenderungan terhadap dunia untuk dirinya baik dhahir maupun batin atau karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu yang menimbulkan sifat (riya’) kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji yang bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu, maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Ketika manusia ada pada kondisi ikhlas tersebut, tentunya ia akan mensyukuri segala sesuatu yang ada pada dirinya dan tidak memaksakan sesuatu apapun sebagaimana orang lain gapai.
Syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah.
Imam al-Qusyairi menegaskan, bahwa hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah yang di buktikan dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi, syukur itu adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi nikmat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah dengan lisan, mengakui dengan hati akan nikmat Allah, dan mempergunakan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah dengan perilaku.
Maka, bahagia berawal dari keikhlasan dan rasa syukur. Kesalahan Manusia sering menisbatkan bahagia kepada keduniaan sehingga mengakibatkan frustasi dan hidup penuh keresahan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur.
Penulis: Ahmad Faiz Yunus, S.Sy., M.Si.
Alumni Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia