DMI.OR.ID, SURABAYA – Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kelima terbesar di dunia setelah China, India, Meksiko dan Brazil pada 2045. Prediksi ini dilansir oleh majalah The Economist. Jadi, dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat diperlukan sebagai penopang kehidupan berbangsa dan bernegara saat masa itu tiba.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, H. Irman Gusman, SE., MBA., menyatakan hal itu pada Senin (24/8) malam, dalam sambutannya di acara Malam Ta’aruf dan Halal bi Halal Musyawarah Nasional (Munas) MUI IX di Hotel Garden Palace, Surabaya, Jawa Timur (Jatim).
“Islam di Indonesia bersifat wasathiyyah dan akan menjadi kiblat ummat Islam dunia di masa depan. Kepentingan ummat Islam dan bangsa ini sangat terkait dengan prinsip ini. Apalagi, Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2045, seperti dilansir majalah The Economist,” tutur Irman.
Saat ini, lanjutnya, dunia sedang menghadapi tiga krisis utama, yakni financial (keuangan) crisis, fuel (minyak) crisis, dan food crisis, sehingga prinsip Islam wasathiyyah dapat menjadi alternatif dari kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menanggulangi ancaman krisis.
Menurutnya, krisis moneter yang terjadi saat ini situasinya tidak sama dengan krisis moneter pada 1998 silam dan tidak seburuk yang dibayangkan banyak orang. Apalagi fundamental perbankan di Indonesia cukup kuat, sehingga masyarakat tidak perlu memboyong barang-barang yang ada.
“Sebaiknya, kita tidak saling mencari kesalahan satu sama lain, apalagi antar sesama lembaga negara. Kita dapat bertemu untuk menyelesaikan masalah dengan baik dan bersatu menghadapi ancaman krisis ekonomi,” papar Irman.
Sebagai lembaga legislatif di tingkat nasional, paparnya, DPD RI siap mengajak MUI untuk bekerjasama aktif mengatasi berbagai persoalan bangsa, khususnya terkait disparitas (kesenjangan) ekonomi di pusat dan daerah.
Disparitas pemerataan ekonomi antara pusat dan daerah, ungkapnya, terjadi akibat pembagian kue pembangunan yang tidak merata. Bahkan indeks kesenjangan ekonomi terus merosot selama masa orde baru berkuasa di Indonesia. “Artinya, deregulasi kebijakan ekonomi pemerintah saat itu belum berpihak kepada rakyat kecil,” tegasnya.
“Bayangkan saja, 84 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama era orde baru hanya digunakan di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan sisnya dibagi-bagi untuk seluruh wilayah di negeri ini,” ujarnya.
Sejak DPD RI berdiri, lanjutnya, lembaga legislatif non-partai politik ini telah mendesak pemerintah untuk melakukan reformulasi kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia. “Alhamdulilah secara bertahap, perimbangan keuangan APBN antara pusat dan daerah telah dilakukan sejak 2003 hingga sekarang,” ucapnya.
Anggaran pembanguan untuk daerah, tukasnya, saat ini sudah lebih besar daripada angaran pembangunan di pusat. Namun unsur ekonominya masih belum berubah sehingga pembangunan di daerah kerap mengalami banyak hambatan.
Dalam kegiatan ini, hadir Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat, yakni Prof Dr. H. Muhammad Siradjuddin Syamsuddin, MA., dan Drs. KH. Ma’ruf Amin. Hadir pula Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Dr. (Hc). Zulkifli Hasan, S.E., M.M., dan Wakil Gubernur Jatim, Drs. H. Saifullah Yusuf.
Munas IX MUI ini mengambil tema Islam Wasathiyah Untuk Dunia Yang Berkeadilan dan Berkemajuan serta diselenggarakan di Hotel Garden Palace, Surabaya, sejak Senin (24/8) hingga Kamis (27/8).
Hadir pula beberapa pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI), yakni sekretaris jenderal (sekjen) Pimpinan Pusat (PP) DMI, Drs. H. Imam Addaruqutni, MA., ketua bidang, serta ketua dan sekretaris Departemen Sarana, Hukum dan Waqaf PP DMI, yakni: Drs. H. Muhamad Natsir Zubaidi, Dr. H. Nadjamuddin Ramly, MA, dan Drs. H. Fahmi Salim, MA.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani