A. Tinjauan Sejarah (dunia & nusantara)
Bendera (vexillod) sudah dikenal sejak zaman Romawi (sebelum kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam). Bendera dinaikkan ke tiang (logam/kayu) dengan diiringi lagu kebaktian karya Vergalius sebagai lagu peringatan kepada Jumater (upacara kudus), dengan rasa rendah diri menghormati bendera karena memiliki unsur kepercayaan, yang kemudian penghormatan itu ditambah dengan MENGANGKAT TANGAN (Tabik, Kerek, sikap hormat) sebagai ajaran dari Inggris.
Pada perkembangannya penggunaan Bendera selain untuk ritual juga untuk memberikan informasi & membantu koordinasi militer di medan perang. Para Kasatria membawa bendera untuk membedakan kawan & lawan.
Selama abad pertengahan, bendera yang digunakan adalah heraldik; berisi lambang, lencana/perangkat lain untuk identifikasi pribadi. Selama puncak pelayaran dimulai pada awal abad 17 kapal laut biasa memasang bendera kebangsaannya -kemudian menjadi persyaratan hukum pelayaran-, di laut bendera berfungsi untuk mengirim pesan/komunikasi.
Penggunaan bendera di luar konteks militer/angkatan laut dimulai saat sentimen nasionalisme pada akhir abad 18, dan selama abad 19 hingga saat ini, setiap negara berdaulat harus memperkenalkan bendera nasionalnya.
R.E.Elson dalam .The Idea of Indonesia menuliskan bahwa di Indonesia, ketika Kongres Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Lunteren-Belanda, agustus 1920 terlihat ada bendera merah-putih bersebelahan dengan bendera biru-merah-putih, begitupun bendera merah-putih berkibar dalam Kongres Pemuda 28/10/1928 (Sumpah Pemuda).
Muh. Yamin menelusuri bahwa warna merah-putih sudah ada sejak zaman Majapahit bahkan zaman purba, penafsirannya didasarkan dengan ditemukan pada masyarakat Indonesia kebiasaan tradisional bubur merah dan putih.
Dalam Babad Jawa dijelaskan, tahun 1292 bendera merah-putih dikibarkan oleh tentara Jayakatwan ketika melawan kekuasaan Kartanegara dari Singosari.
Dalam Kitab Tambo Alam Minangkabau yang disalin tahun 1840 dari kitab yang lebih tua, terdapat gambar bendera alam Minangkabau berwarna merah-putih-hitam, yang merupakan peninggalan zaman Kerajaan Melayu-Minangkabau di abad ke-14 ketika Maharaja Adityawarman memerintah. Merah= warna hulubalang (yang menjalankan pemerintahan), Putih= warna agama (alim Ulama), Hitam= adat Minangkabau (Penghulu adat).
Dalam Kitab Babad Tanah Jawa, Babad Mentewis jilid ll hal.123, disebutkan ketika Sultan Agung (1613-1645) berperang dengan negeri Pati, tentaranya bernaung di bawah bendera merah-putih.
Di pulau-pulau lain nusantara juga (Aceh, Palembang, Maluku, dsb) terdapat bendera merah-putih (meskipun dicampuri beragam gambar).
Secara resmi, bendera merah-putih ditetapkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 35, dan penghormatan terhadap bendera merah-putih (bendera kebangsaan) dimulai pada tahun 1958 yang tercantum dalam PP Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia.
B. Tinjauan Sejarah Islam
Dalam sejarah Islam, bendera/panji yang biasa digunakan sebagai tanda pasukan disebut “ar-rooyatu [h]” atau “ummul harbi” -induk perang-. Sedangkan bendera yang biasa dipakai waktu berbaris adalah “al-liwaa”. Di zaman Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam, bila perang biasa memakai ‘ar-rooyah’ sebagai tanda pasukan muslim.
Diriwayatkan dari Jabir rodhiyallahu’anhu: “bahwa Nabi Sholallahu’alaihi wassalam memasuki Mekah dgn membawa bendera (al-liwaa) berwarna putih” (H.R. Ibnu Majah). Sedangkan panjinya, dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas rodhiyallahu’anhu: semasa Rosulullah menjadi panglima perang di Khaibar, bersabda: “aku benar2 akan memberikan panji (ar-rooyah) ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta dicintai Allah dan Rasul-Nya, lalu Rasulullah memberikan panji itu kepada Ali”. (H.R.Bukhori).
Dalam Islam, bendera hanya sekedar tanda pasukan muslim, tidak ada dalil yang menerangkan Rosul, para sahabat maupun khulafaa-urrasyidin mencontohkan hormat terhadap bendera, padahal di dalam bendera & panjinya tertulis kalimat “Laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah”.
C. Tinjauan Yuridis Formal
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 35 “Bendera Negara Indonesia adalah Sang Merah Putih”.
2. PP No.40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pasal 20 “pada waktu upacara penaikan atau penurunan Bendera Kebangsaan, maka semua orang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak, berdiam diri, sambil menghadapkan muka kepada bendera sampai upacara selesai.
Mereka yang berpakaian seragam dari sesuatu organisasi memberi hormat menurut cara yang telah ditentukan organisasinya itu.
Mereka yang tidak berpakaian seragam, memberi hormat dengan meluruskan lengan kebawah dan meletakkan tapak tangan dengan jari-jari rapat pada paha, sedang semua jenis penutup kepala harus dibuka, kecuali kopiah, ikat kepala, sorban dan kudung atau topi-wanita yang dipakai menurut agama atau adat-kebiasaan.
3. UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, pasal 15 ayat:
(1) Pada waktu penaikan atau penurunan Bendera Negara, semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadapkan muka pada Bendera Negara sampai penaikan atau penurunan selesai
(2) Penaikan atau penurunan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Antara PP No.40 tahun 1958 dengan UU No.24 tahun 2009 ada perbedaan; frasa Bendera Kebangsaan menjadi Bendera Negara, dan penghormatan bendera hanya bagi yang berpakaian seragam, yang tidak berseragam tidak perlu hormat dengan mengangkat tangan kepada bendera. PP No.40 tahun 1958 lebih fleksibel bahkan menghargai pakaian keagamaan serta adat istiadat, berbeda dengan UU No.24 tahun 2009 yang menyeragamkan seluruhnya seperti militer (yang berseragam/tidak) wajib hormat bendera (mengangkat tangan dengan khidmat), dan tidak memberikan ruang kepada masyarakat untuk memilih.
D. Tinjauan Syariah
Dalam Ushul Fiqih, kaidah haram adalah untuk hal ibadah, “al-ashlu fil’ibaadati haromun illa maa dallaa-d-dalillu ‘alaa amrihi” asal hukum dari ibadah adalah haram kecuali jika ada dalil atas perintahnya (ibadah).
Sedangkan hormat terhadap bendera bukanlah perkara bagian dari ibadah, maka hukumnya boleh, kaidah ushulnya adalah “al-ashlu fil mu’amalati al-ibahah illa maa dalla-d-dalilu ‘ala tahrimihi” hukum asal dari muamalah (perkara dunia) adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
Namun, ummat muslim senantiasa merujuk pada quran & sunnah Rosul, dalam kasus-kasus yang tidak tercantum secara rinci dalam quran, Ulama juga menggunakan hadits, atsar sahabat terkait hukum hormat, ijma’ Ulama untuk mengeluarkan fatwa, seperti terhadap bendera, dalam al-quran tidak disebutkan scara qoth’i tentang haramnya hormat terhadap bendera.
Tetapi, dalam hadits pun tidak ditemukan 1 pun hadits yang menerangkan Rosul pernah hormat terhadap bendera, begitupun para sahabat dan generasi setelahnya.
Karena itu, Ulama di Saudi Arabia dalam Lajnah ad-Daimah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wa al-ifta mngeluarkan fatwa (haram) dengan judul “hukum menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat bendera” dengan alasan:
1) bid’ah yang harus diingkari, karena tidak pernah dilakukan Rosulullah & masa Khulafaurrasyidin,
2) menghormati bendera juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna & keikhlasan di dalam meng-agungkan hanya kepada Allah semata,
3) menghormati bendera sarana menuju kesyirikan,
4) penghormatan terhadap bendera adalah bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, taqlid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin & protokoler resmi. Padahal Rosulullah sholallahu’alaihi wassalam melarang pengikutnya menyerupai mereka.
Hormat bendera dengan cara tabik (mengangkat tangan) tidak dapat dimengerti oleh akal, dan tidak ada dalil, yang demikian itu dalam istilah agama (IsIam) disebut ‘khurafat’ (syirik, kepercayaan karut).
Wallahua’alam bishowwab.
*Penulis: Helmy Al-Djufry, S.Sy:
-Asisten Advokat di PAHAM Indonesia Cab.DKI Jakarta
-Sekjend IKA Siyasah UIN SGD Bandung
-Pengurus PJMI
-Ketua Bid.Kaderisasi PP PRIMA-DMI