Pada masanya, Abu Yazid (Al Bayazid) Al Busthami pernah tiga kali pergi haji ke Mekah. Ia adalah orang yang dikenal sebagai sufi besar. Pada haji pertama, dia hanya terisak di depan Kabah setiap hari. “Ya Allah, sesungguhnya aku belum berhaji sebab yang aku lihat hanyalah batu Kabah saja,” tutur Al-Bayazid.
Sepulang dari haji yang kedua, Bayazid masih juga menangis. Namun, dia mengaku tetap belum berhaji karena merasa hanya melihat rumah Allah. Bayazid baru merasa menyempurnakan hajinya usai berhaji untuk yang ketiga kalinya. “Kali ini, aku tak melihat apa-apa kecuali Allah,” ungkapnya.
Cerita Bayazid itulah yang konon mendorong Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka untuk menulis “Tasawuf Moderen” [Jaya Murni, 1939]. Saat itu, Buya Hamka juga selesai pergi haji untuk yang ketiga kalinya, tetapi hingga dua kali haji ia pun terus bertanya-tanya.
“Jika Kabah dan juga kompleks Masjidil Haram di Mekah adalah benar Rumah Allah [baitullah], apakah aku bisa menjumpai Allah di sana? Aku menunaikan haji dan bertamu ke rumah Allah, tetapi tidak kutemukan si Pemilik Rumah, melainkan lautan manusia yang berputar mengelilingi Kabah.” ujarnya.
Sama dengan Bayazid, Hamka baru menemukan jawaban sewaktu dia selesai menunaikan haji yang ketiga kalinya. Jadi Allah Subhanahu Wata’ala (SWT), si pemilik dan “tuan rumah” Ka’bah itu memang benar ada, tetapi bukan di [dalam] Kabah, tidak pula di kompleks Masjidil Haram, apalagi di kota Mekah. Hamka juga mengaku “menemukan” Allah SWT di hati.
Penulis: Drs. H. Muhammad Natsir Zubaidi
Ketua Bidang Sarana, hukum, dan Waqaf Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI)
Editor: Muhammad Ibrahim Hamdani