Siapapun yang menikah, kegembiraan harus menyelimuti perasaan kita. Salah satu yang membuat kita harus gembira adalah karena syariat Islam masih kita junjung tinggi. Diantara ekspresi kegembiraan kita tunjukkan dalam bentuk doa kepada kedua mempelai. Doa itu adalah:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ
Mudah-mudahan Allah memberkahi engkau dalam segala hal (yang baik) dan mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan
Dalam doa di atas, kepada orang yang menjalin pernikahan dan menjalani kehidupan rumah kita doakan agar Allah swt memberikan dua hal. Menjadi penting bagi kita untuk memahaminya.
- Keberkahan
Menurut bahasa, berkah berasal dari bahasa Arab: barokah (البركة), artinya nikmat. Berkah adalah ziyadatul khair, yakni “bertambahnya kebaikan” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179), berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Oleh karena itu, keluarga yang berkah adalah yang semakin baik orangnya, ketenangan ada di dalamnya meskipun masalah ada saja, keturunan yang shaleh dan shalehah dan rizki yang halal serta cukup. Dalam konteks kehidupan masyarakat, keluarga yang memperoleh keberkahan adalah memberi manfaat kebaikan yang sebesar-besarnya.
Adapun kunci keberkahan adalah iman dan taqwa sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt: Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf [7]:96).
Untuk itu, Al Quran yang penuh dengan keberkahan harus menjadi pedoman dalam kehidupan rumah tangga, Allah swt berfirman: “Ini (Al-Quran) adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (QS. Shaad [38]:29).
Dalam kehidupan keluarga, berkumpul dan makan bersama yang didahului dan diakhiri dengan berdizir kepada Allah swt menjadi cara sederhana untuk meraih keberkahan. Rasulullah saw bersabda:
فَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَامِكُمْ، فَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهَ عَلَيْهِ! يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ.
Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya (HR. Abu Daud)
Kebutuhan keluarga berupa sandang, pangan dan papan harus dipenuhi, ini merupakan kewajiban penting bagi suami dan bapak. Karena itu, jujur dalam berusaha menjadi cara lain untuk memperoleh keberkahan, Rasulullah SAW bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَ الْبَيِّعَانِ وَبَيَّنَا، بُوْرِكَ لَهُمَافِى بَيْعِهِمَا، وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا، فَعَسَى اَنْ يَرْبَحَا رَبْحَا، وَيَمْحَقَا بَرَكَةَ بَيْعِهِمَا
Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Keberkahan yang didoakan untuk kedua mempelai juga bisa diperoleh manakala anggota keluarga ridha atas pemberian Allah swt, meskipun jumlahnya sedikit, yang penting diterima dulu dengan senang hati, apa yang kurang, masih bisa dicari lagi, ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah swt.
- Bersatu Dalam Kebaikan
Kedua mempelai didoakan sesuai oleh kita agar bersatu dalam kebaikan. Secara pribadi, seorang lelaki sudah memiliki dan melakukan kebaikan, begitu juga dengan seorang wanita. Ketika keduanya menikah, ia tidak hanya bersatu secara fisik dan mental, tapi juga berkumpul, bersatu dalam segala kebaikan dan untuk melakukan, menyebarkan dan menegakkan nilai-nilai kebaikan.
Paling tidak, ada dua istilh untuk menyebut kebaikan. Pertama, Ma’ruf, berasal dari dari kata arafa yang bermakna tahu atau kenal. Ini berarti, suami isteri itu sudah tahu apa yang baik dan apa yang tidak baik. Meskipun demikian, orang yang tahu kebaikan ternyata belum tentu melakukan kebaikan itu, karenanya manusia harus diperintah untuk melakukannya, di dalam Al Quran hal ini disebut dengan amar makruf (memerintahkan kebaikan).
Kedua, kebaikan diistilahkan dengan al khair, berasal dari kata Al-Khiyar yang bermakna memilih. Ini berarti, sesudah memahami tentang kebaikan, suami isteri itu harus memilih kebaikan untuk diterapkan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Ketika kebaikan disebut khair, maka manusia dengan jiwanya yang suci pasti memilih kebaikan, karenanya ia cukup diajak atau diserukan, misalnya saling menghormati, senyum, sayang menyayangi dan sebagainya. Tapi, ada kebaikan yang disebut ma’ruf tidak cukup hanya dipahami, tapi harus diperintah, misalnya menginfakkan harta, sebab sayang pada harta kadang membuat orang menjadi pelit meskipun kepada keluarga sendiri. Karena itu, Allah swt berfirman: Hendaklah ada diantara kamu umat yang menyeru kepada “khair” dan menyuruh kepada “ma’ruf” (Surah Ali Imran [3]:104).
Dengan demikian, ketika kita mendoakan semoga pasangan suami isteri dikumpulkan dalam kebaikan, itu berarti keduanya sudah menyenangi kebaikan dan kebaikan-kebaikan itu dikumpulkan dalam kebersamaan. Sayang menyayangi, hormat menghormati, tolong menolong atau kerjasama, merupakan sikap dan prilaku yang sudah ada dan disukai oleh kedua belah pihak sehingga tidak perlu disuruh-suruh lagi untuk melaksanakannya.
Diantara contoh suami isteri yang dikumpulkan dalam kebaikan adalah pada kisah keluarga Khalifah Umar bin Khattab. Beban pekerjaan Umar bin Khattab sebagai khalifah amat banyak, apalagi beliau tidak ingin ada rakyatnya yang mengalami kesulitan, karenanya beliau bekerja hampir 24 jam setiap harinya sehingga banyak persoalan-persoalan rakyat yang teratasi berkat kerja kerasnya, siang dan malam. Karena itu, dukungan dan kerjasama keluarga, khususnya isteri menjadi amat penting dalam mengemban tugas sebagai pemimpin.
Ummu Kultsum yang usianya jauh lebih muda dari Umar bin Khattab sebagai suami tidak menghalangi keharmonisan berumahtangga, salah satunya adalah kerjasama dalam mengemban tugas-tugas suami yang tidak terkait langsung dengan masalah rumah tangga.
Ketika Khalifah Umar keluar dari rumahnya pada suatu malam yang telah larut dan ini sesuatu yang biasa dilakukannya untuk mengetahui langsung keadaan rakyatnya, tiba-tiba di pinggir kota Madinah, Khalifah Umar mendengar rintihan seorang wanita dari dalam kemah yang di depannya duduk seorang lelaki. Umar memberi salam kepadanya dan bertanya maksud kedatangannya ke kota Madinah. Ia menjelaskan bahwa kedatangannya dari kampung untuk mengharapkan kebaikan Khalifah Umar bin Khattab. Selanjutnya Umar bertanya tentang wanita yang sedang merintih kesakitan dari dalam kemah, tapi karena lelaki itu tidak tahu bahwa ia sedang berbicara kepada Khalifah Umar, maka dengan tegas ia berkata: “Pergilah kamu, semoga Allah merahmatimu dan jangan lagi bertanya tentang masalah yang bukan urusanmu”.
Tapi Umar tetap bertanya dan menawarkan bantuan sebisa mungkin. Karenanya lelaki itu menjawab: “Dia adalah isteriku yang hendak melahirkan dan tidak ada orang yang bisa menolongnya”.
Umar langsung pulang ke rumahnya, kepada isterinya ia bertanya: “Maukah kamu mendapatkan pahala yang akan diberikan Allah?”.
Tentu saja Ummu Kultsum menjawab mau, lalu bertanya: “apakah kebaikan dan pahala itu?”.
Setelah diceritakan oleh Umar, Ummu Kultsum segera mempersiapkan diri dan membawa perlengkapan yang dibutuhkan untuk membantu persalinan, sementara Khalifah Umar berangkat dengan memanggul karung yang berisi minyak samin dan gandum.
Sesampai di kemah orang itu, Ummu Kultsum segera masuk dan bertindak sebagai bidan. Sedangkan Umar dan lelaki itu membuat roti dan memasak minyak samin.
Tidak lama kemudian, terdengar suara bayi dan dari dalam kemah, Ummu Kultsum berseru: “Wahai Amirul Mukminin, berilah kabar gembira kepada temanmu itu bahwa Allah telah mengkaruniakan bayi laki-laki”.
Tentu saja orang badui itu terperanjat mendengar kata Amirul mukminin yang diucapkan oleh bidan itu, ia tidak menyangka bahwa yang masak roti dan minyak samin bersamanya adalah Khalifah Umar yang ia inginkan kebaikannya, sedangkan yang menjadi bidan adalah isterinya sendiri.
Kisah di atas memberi pelajaran yang amat berharga. Pertama, seorang isteri harus selalu menopang tugas-tugas suaminya dan suami mau melibatkan isteri dalam melakukan kebaikan. Kedua, Suami isteri sejati harus bekerjasama dalam kebaikan, bukan kerjasama dalam hal-hal yang bernilai dosa.
Semoga setiap keluarga kita mendapat keberkahan dan kitapun kumpul dalam rangka kebaikan.
Penulis: Ustadz. Drs. H. Ahmad Yani
Ketua Departemen Dakwah, Ukhuwwah, dan Sumber Daya Keummatan Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI).