Khutbah Idul Fitri 1436 H
BERSEGERA DALAM EMPAT KEBAIKAN
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu
Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Ramadhan dengan ibadah utamanya puasa telah kita lewati. Meskipun belum optimal apa yang kita lakukan, harapan kita dapat memperoleh apa yang dijanjikan Allah swt dan Rasul-Nya kepada siapa saja yang berpuasa Ramadhan, yakni peningkatan ketaqwaan kepada Allah swt dan memperoleh ampunan dosa.
Banyak pelajaran dan hikmah puasa untuk kehidupan kita yang lebih baik. Satu diantaranya adalah berkaitan dengan berbuka puasa yang sering disebut dengan istilah Takjil yang artinya bersegera, segera berbuka puasa. Kenapa? Karena sudah waktunya. Itu artinya, apa yang harus segera kita lakukan, segeralah melakukannya, jangan ditunda-tunda. Menunda apa yang harus kita lakukan paling tidak mengakibatkan empat hal. Pertama, membuat motivasi kita menurun bahkan kehilangan motivasi. Kedua, kehilangan momentum. Ketiga, tidak mendapatkan nilai yang paling utama hingga sama sekali tidak mendapatkan nilai dan Keempat yang paling merugikan adalah kehilangan kesempatan sehingga kitapun tidak memungkinkan lagi untuk melakukannya.
Dalam kesempatan khutbah yang singkat ini, paling tidak ada empat hal yang harus kitab segerakan dalam hidup ini, dari sekian banyak yang harus kita segerakan. Pertama, segera dalam amal sosial. Segala kebaikan yang sudah kita niatkan, maka kita dituntut untuk segera melakukannya. Dalam hubungan sosial sesama. Banyak hal yang harus kita segerakan. Misalnya kita sudah berniat mau mengunjungi saudara atau teman yang sakit, maka segera menjenguknya, karena ada kemungkinan dia cepat sembuh dari sakit dan kembali ke rumah dari perawatan di rumah sakit, atau mungkin juga dia meninggal dunia. Contoh lainnya adalah ketika kita sudah berniat mendatangi rumah famili sebagai bentuk penguatan silaturrahim, maka segera kita mendatanginya, karena bisa jadi kita menjadi tidak sempat atau famili kita itu harus bepergian pada kesempatan lain. Begitu pula dengan niat kita mau bersedekah, segera lakukan, karena bersedekah itu tidak harus menunggu kita menjadi orang kaya, dan begitulah seterusnya. Yang amat disayangkan adalah banyak orang yang suka menunda kebaikan yang mau dilakukannya, padahal salah satu ciri orang shaleh adalah segera dalam kebaikan sebagaimana Allah swt berfirman:
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ
Mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh (QS Ali Imran [3]:114).
Kedua, segera dalam taubat. Bertaubat yakni kembali kepada Allah, karena dosa menyebabkan orang menjauhi Allah swt dengan segala ketentuan-Nya. Karena kita tidak tahu kapan kematian akan datang kepada kita dan kita menyadari bahwa kematian itu bisa datang kapan saja, maka taubat harus kita lakukan sesegera mungkin, jangan ditunda besok, pekan depan, bulan depan, tahun depan apalagi kalau ditunda hingga bila usia kita mencapai tua, hal ini karena belum tentu kita bisa hidup sampai tua, bahkan yang lebih tragis adalah banyak orang yang sudah tua tapi masih belum juga bertaubat, bahkan ada dosa baru yang dilakukannya. Allah swt berfirman:
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]:133).
Manakala kita sudah bertaubat, maka kita akan menjadi manusia yang dicintai Allah swt, dalam suatu hadits, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ الْمُفْتَتَنَ التَّوَّابَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba mukmin yang terjerumus dosa tetapi bertaubat (HR. Ahmad).
Rasulullah saw juga menggambarkan bagaimana kecintaan Allah kepada orang yang bertaubat dalam satu haditsnya:
اَللهُ أَفرحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيْرِهِ وَقَدْ أَضَلَّهُ فِى أَرْضٍ فَلاَةٍ
Sesungguhnya Allah lebih suka menerima taubat seorang hamba-Nya, melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali dengan tiba-tiba untanya yang hilang daripadanya di tengah hutan (HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping itu, dalam konteks kecintaan Allah swt kepada orang yang bertaubat, Dia lebih mencintai lagi bila yang bertaubat itu adalah seseorang yang masih tergolong muda, Rasulullah saw bersabda:
مَامِنْ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الشَّبَابِ التاَّ ئِبِ
Tiada sesuatu yang lebih disukai Allah daripada seorang pemuda yang bertaubat (HR. Ad Dailami).
Ketiga, segera dalam beribadat, misalnya shalat di awal waktu jauh lebih utama ketimbang ditunda-tunda hingga menjelang waktu berikutnya. Bahkan ibadah Jumat jangan sampai ditunda kedatangan kita ke masjid hingga khatib hampir selesai berkhutbah, hal ini karena prosesi ibadah Jumat itu dimulai saat khatib naik mimbar, karenanya pastikan kita sudah hadir paling lambat lima menit sebelum khatib naik mimbar itupun dengan pahala yang kecil, yakni seperti orang berkorban dengan sebutir telur . Kalau untuk menyegerakan buka puasa kita mau menunggu, padahal hukumnya suunat, mengapa untuk ibadah yang wajib seperti Jumatan kita tidak mau menunggu, apalagi tidak ada toleransi untuk keterlambatan, dalam hadits diterangkan:
مَنِ اغْتسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ بُدْ نَةً، وَمَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا اَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَاِذَا خَرَجَ اْلاِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ.
Barangsiapa yang mandi seperti mandi junub pada hari Jum’at, kemudian dia pergi ke masjid pada kesempatan pertama, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan seekor unta. Barangsiapa pergi ke masjid pada kesempatan kedua, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan sapi. Barangsiapa pergi ke masjid pada kesempatan ketiga, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan seekor kambing. Barangsiapa pergi ke masjid pada kesempatan keempat, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan ayam. Barangsiapa tiba ke masjid pada kesempatan kelima, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan sebutir telur. Jika imam (khatib) telah keluar, para malaikat hadir mendengarkan khutbah (tidak ada yang mencatat siapa yang datang setelah itu). (HR. Muslim).
Karena itu, bila seorang muslim terlambat dalam ibadah Jumat, ia baru datang saat khatib sudah naik mimbar, maka ia terancam tidak dicatat ibadah Jumatnya oleh para malaikat meskipun kewajibannya gugur. Yang menjadi pertanyaan kita adalah sudah berapa puluh tahun seorang muslim ibadah Jumat tapi tidak ada catatannya di buku malaikat, karena kehadirannya itu selalu terlambat, hal ini disebutkan dalam hadits Rasulullah saw:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ, وَقَفَتِ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ يَكْتُبُوْنَ اْلأَوَّلَ فَاْلأَوَّلَ وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِى يُهْدِى بَدَنَةً, ثُمَّ كَالَّذِى يُهْدِى بَقَرَةً, ثُمَّ كَبْشًا, ثُمَّ دَجَاجَةً, ثُمَّ بَيْضَةً، فَاِذَا خَرَجَ اْلاِمَامُ طَوَوْا صُحُفَهُمْ, يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ.
Jika tiba hari Jumat, para malaikat berdiri di pintu-pintu masjid menulis yang hadir pertama dan yang seterusnya. Dan perumpamaan orang yang berangkat pertama adalah seperti orang yang berkorban seekor unta, kemudian seperti orang yang berkorban sapi, kemudian seekor domba, kemudian seekor ayam, kemudian sebutir telur. Jika imam telah hadir, maka mereka menutup buku catatan dan menyimak dzikir (khutbah). (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah).
Keempat, segera dalam membayar utang. Bagi seorang muslim, utang merupakan sesuatu yang harus segera dibayar, ia tidak boleh menyepelekan utang meskipun nilai atau jumlahnya kecil karena hal ini bisa menjadi kendala untuk bisa masuk ke dalam surga, dalam satu hadits dijelaskan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا حَيْثُ تُوْضَعُ الْجَنَائِزُ فَرَفَعَ رَأْسَهُ قِبَلَ السَّمَاءِ ثُمَّ حَفَضَ بَصَرَهُ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى جَبْهَتِهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ الْجَنَّةَ فَقاَلَ: سُبْحَان اللهِ, سُبْحَان اللهِ, مَاأَنْزَلَ مِنَ التَّشْدِيْدِ. قاَلَ: فَفَرَقْنَا وَسَكَتْنَا حَتَّى إِذَا كَانَ الْغَدُ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا: مَا التَّشْدِيْدُ الَّذِى نَزَلَ؟. قاَلَ: فِى الدَّيْنِ, وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ قُتِلَ رَجُلٌ فِى سَبِيْلِ اللهِ ثُمَّ عَاشَ. ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ عَاشَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى دَيْنَهُ
Rasulullah saw pernah duduk di sekitar beberapa jenazah diletakkan, lalu beliau mengangkat kepalanya ke arah langit kemudian menundukkan pandangannya, lalu meletakkan tangannya ke keningnya seraya bersabda: Maha Suci Allah, Maha Suci Allah, betapa keras ancaman yang diturunkan. Ia menuturkan, maka kami bubar dan kami diam hingga keesokan harinya, aku bertanya kepada Rasulullah saw, kami berkata: “ancaman keras apa yang telah turun?”. Beliau bersabda: :Tentang hutang, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau seandainya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian hidup lagi, lalu gugur dan kemudian hidup lagi, lalu gugur lagi sedangkan ia menanggung hutang, niscaya ia tidak akan masuk surga hingga hutangnya dilunasi (HR. Nasa’i, Thabrani dan Hakim).
Dengan demikian, bila orang yang sudah meninggal dunia kemungkinan memiliki utang kepada pihak lain dan keluarga belum mengetahuinya, maka paling tidak harus ada pernyataan bahwa pihak keluarganya akan menanggung atau membayarnya sehingga dengan begitu orang yang meninggal dunia sudah tidak memiliki utang, dalam satu hadits diceritakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ فَقَالَ: هَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ قَالُوْا: لاَ. قَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟. قَالُوْا: نَعَمْ, عَلَيْهِ دِيْنَارَانِ. قَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاجِبِكُمْ. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَصَلَّ عَلَيْهِ
Suatu ketika ada jenazah didatangkan kepada Rasulullah saw untuk beliau shalatkan, lalu beliau bertanya: “Apakah jenazah ini meninggalkan sesuatu?.” Para sahabat menjawab: “Tidak.” Lalu beliau bertanya lagi: “Apakah ia memiliki tanggungan utang?.” Para sahabat menjawab: “Ya, dua dinar.”Lalu beliau berkata: “Kalau begitu, maka shalatkanlah jenazah teman kalian ini.” (Maksudnya beliau tidak mau menshalatkan jenazah yang masih punya utang), lalu Abu Qatadah ra siap membayarnya dengan berkata: “Saya yang menjamin utang tersebut ya Rasulullah.” Lalu beliaupun menshalatkannya (HR. Bukhari, Ahmad, Nasai, Ibnu Hibban dan Ahmad).
Oleh karena itu bila kita punya utang harus segera membayarnya dan bila uangnya sudah ada tapi kita tidak segera membayarnya, maka hal itu tergolong kezaliman yang tidak disadari atau tidak dipahami oleh manusia, karena yang lebih bagus adalah membayar utang sebelum jatuh tempo, Rasulullah saw bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءٍ فَلْيَتْبَعْ
Penundaan pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah kezhaliman. Dan apabila salah seorang dari kalian dialihkan (pembayaran utangnya) kepada orang kaya, maka hendaklah ia menerima pengalihan itu (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Namun apabila manusia yang berutang tidak mau memperhatikan atau tidak mau membayarnya, maka hal itu akan membawa keburukan bagi dirinya, apalagi dalam kehidupan di akhirat nanti, hal ini karena utang yang tidak dibayar akan menggerogoti nilai kebaikan seseorang yang dilakukannya di dunia, kecuali bila ia memang tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya, Rasulullah saw bersabda:
اَلدَّيْنُ دَيْنَانِ فَمَنْ مَاتَ وَهُوَيَنْوِىْ قَضَاءَهُ فَأَنَا وَلِيُّهُ وَمَنْ مَاتَ وَلاَيَنْوِىْ قَضَاءَهُ فَذَالِكَ الَّذِىْ يُؤْخَذُمِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ يَوْمَئِذٍ دِيْنَارٌ وَلاَدِرْهَمٌ.
Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati meninggalkan utang, sedangkan ia berniat akan membayarnya, maka saya yang akan mengurusnya, dan barangsiapa yang mati, sedangkan ia tidak berniat akan membayarnya, maka pembayarannya akan diambil dari kebaikannya, karena di waktu itu tidak ada emas dan perak (HR. Thabrani).
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Nasai dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bercerita yang sangat menarik tentang dua orang Bani Israil yang terkait dengan utang. Seorang Bani Israil berutang seribu dinar kepada seorang Bani Israil lainnya. Pemberi pinjaman itu berkata: “Datangkanlah para saksi, aku akan menjadikan mereka sebagai saksi.”
Orang yang mau meminjam berkata: “Cukuplah Allah sebagai saksi.”
Orang itu berkata lagi: “Hadirkanlah kepadaku seorang penjamin.”
Orang yang mau meminjam berkata: “Cukuplah Allah sebagai penjamin.”
Orang itu berkata: “Engkau benar.”
Lalu diserahkanlah uang seribvu dinar itu dengan batas waktu yang ditentukan. Si peminjampun pergi dengan menyeberangi lautan menuju suatu daerah untuk suatu keperluan. Setelah selesai keperluannya di daerah itu, ia bermaksud pulang ke kampoung halamannya, namun tidak ada kendaraan untuk pulang, sementara utang sudah hampir jatuh tempo sehingga bila ia menunggu sampai dapat kendaraan, iapun melewati waktu yang ditentukan untuk membayar uang.
Dengan penuh keyakinan, si peminjam itu tidak mau mengabaikan janji waktu bayar utang. Iapun mencari kayu, dilubangi kayu itu, lalu dimasukkan uang seribu dengan beserta surat darinya, lubang itupun ditambal atau ditutup rapat agar tidak kena air atau jatuh.
Setelah selesai, iapun siap menghanyutkannya ke laut dan berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku telah meminjam uang sebanyak seribu dinar kepada si fulan. Kala itu ia meminta seorang saksi, maka aku katakan: “cukuplah Allah sebagai saksi,” kemudian ia rela dengan-Mu. Kemudian iapun minta didatangkan seorang penjamin, maka aku katakan kepadanya: ‘cukuplah Allah sebagai penjamin,” kemudian ia rela dengan-Mu. Dan sesungguhnya aku telah berupaya keras menemukan kendaraan untuk mengirimkan piutangnya, namun aku tidak mampu, dan kini aku menitipkannya kepada-Mu.”
Setelah dihanyutkan, iapun melanjutkan usaha mencari kendaraan agar bisa pulang ke kampung halamannya.
Kemudian orang yang memberi pinjaman itu keluar untuk melihat barangkalai ada kendaraan (kapal atau perahu) datang membawa uang miliknya. Dan ternyata yang ada hanya sepotong kayu. Iapun membawa pulang kayu itu, setelah membelahnya, ternyata ia mendapati ada seribu dinar dan selembar surat untuknya.”
Orang yang meminjam uang itupun sudah bisa kembali dan tetap membawa seribu dinar saat menemuinya, ia berkata: “Demi Allah, aku sudah berupaya keras mencari kendaraan agar bisa datang kepadamu dengan membawa uang milikmu, namun aku tidak menemukan satupun kendaraan sebelum ini.”
Orang yang meminjamkan uang justeru bertanya: “Apakah kamu mengirimkan sesuatu kepadaku?.”
Ia berkata: “Aku sampaikan kepadamu bahwa aku tidak menemukan kendaraan sebelum kedatanganku ini.”
Si pemberi pinjaman berkata: “Sesungguhnya Allah telah melunasi utangmu dengan apa yang telah kamu kirimkan di dalam sepotong kayu.”
Karena utangnya telah lunas, maka orang itupun pulang dengan membawa seribu dinar dalam keadaan menyadarinya.
Dengan demikian, sukses ibadah Ramadhan harus kita tunjukkan dengan semangat yang lebih besar dalam melakukan segala kebaikan. Semangat shalat berjamaah di masjid, semangat menuntut dan mengajarkan ilmu, semangat tolong menolong dalam kebaikan, semangat berdakwah dan bersemangat dalam berbagai kebaikan yang bisa kita lakukan, ini membuat kita menjadi manusia yang bermanfaat.
Akhirnya, marilah kita akhiri ibadah shalat Id kita pada hari ini dengan sama-sama berdoa:
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا.
Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.
اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.
Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.
Khotib/ Penulis:
Ustadz Drs. H. Ahmad Yani
Sekretaris Departemen Dakwah dan Pengkajian Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI).