Khutbah Jumat: Akhlak Seorang Pemimpin

Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Suatu masyarakat dan bangsa akan disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang maju manakala memiliki peradaban yang tinggi dan akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat dan bangsa yang meskipun kehidupannya dijalani dengan teknologi yang modern dan canggih, tapi tidak memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka masyarakat dan bangsa itu disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang terbelakang dan tidak menggapai kemajuan.

Agar kita bisa merwujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan akhlak yang mulia. Namun, satu hal yang harus disadari bahwa akhlak mulia itu bermula dari keimanan yang benar kepada Allah swt. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan tujuh akhlak seorang pemimin, beliau menyatakan:

اَيُّهَاالنَّاسُ قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ

Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai pemimpin (khalifah) untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu.

 

Akhlak Pertama seorang pemimpin adalah Tawadhu yang artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya.

Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah swt sangat murka kepada siapa saja yang berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.

Sifat tawadhu membuat seseorang terangkat derajatnya, Rasulullah saw bersabda:

التَّوَاضَعُ لاَ يَزِيْدُ إِلاَّ رِفْعَةً  فَتَوَاضَعُوْا يَرْفَعْكُمُ اللهُ

Tawadhu, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajatnya). Oleh sebab itu tawadhulah kamu, niscaya Allah akan meninggikan (derajat)mu (HR. Dailam).

 

Akhlak pemimpin yang Kedua adalah Menjalin Kerjasama. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar mengatakaan:

وَاِنْ اَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِى

Bila aku berlaku baik, bantulah aku”.

 

Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah swt dalam firman-Nya:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS Al Maidah [5]:2).

 

Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian, sehebat apapun dirinya. Karenanya Rasulullah saw telah menunjukkan kepada kita bagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai dari membangun masjid di Madinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatu peperangan yang kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah saw menerima dan melaksanakan pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit.

 

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Akhlak Ketiga seorang pemimpin adalah Mengharap Kritik Dan Saran. Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang, sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat:

وَاِنْ اَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِى

“Bila aku bertindak salah, betulkanlah”.

 

Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun maksudnya baik, tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia bernama Shafiyah. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.

Shafiyah mengatakan dengan tegas: “Wahai Khalifah,kami para wanita tidak menuntut laki-laki agar membayar maskawin dengan harga yang mahal, tapi bila mereka mau dan mampu, mengapa harus dihalangi dengan kebijakan itu?.”

Umar kemudian mengatakan: “Ibu ini benar dan Umar salah.”

 

Jamaah Jumat Yang Berbahagia.

Keempat yang merupakan akhlak seorang pemimpin adalah Berkata Dan Berbuat Yang Benar. Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah swt, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan:

اَلصِّدْقُ اَمَانَةٌ وَالْكِذْبُ خِيَانَةٌ.

Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat.

 

Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya gelisah, sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.

Kelima, akhlak seorang pemimpin adalah Memenuhi Hak Rakyat. Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pidato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan:

اَلضَّعِيْفَ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِى حَتَّى اُرْجِعَ اِلَيْهِ حَقَّهُ اِنْ شَاءَ اللهُ

“Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah”.

 

Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.

 

Sidang Jumat Yang Dimuliakan Allah.

Akhlak seorang pemimpin yang Keenam adalah Memberantas Kezaliman. Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah. Dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata:

وَالْقَوِيُّ مِنْكُمْ ضَعِيْفَ عِنْدِ حَتَّى آخَذُ مِنْهُ اِنْ شَاءَ اللهُ

“Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah.”

Ketujuh yang merupakan akhlak seorang pemimpin menurut Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik adalah Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah swt. Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya:

اَطِيْعُوْنِى مَا اَطَعْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَاِنْ عَصَيْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَلاَطَاعَةَ لِى عَلَيْكُمْ.

“Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.

 

Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah swt yang tidak menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya:

يَآءَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pempinpin diantara kamu (QS An Nisa [4]:59)

 

Akhirnya harus kita sadari betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, karenanya diperlukan kecermatan kita dalam memilihnya, bila calon-calon pemimpin tidak memiliki akhlak yang mulia, maka tidak pantas kita memilihnya sebagai pemimpin.

 

Oleh: Ustaz Drs. H. Ahmad Yani

Sekretaris Departemen Dakwah dan Pengkajian Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI).

 

Penulis 38 Judul Buku Manajemen Masjid, Dakwah dan Keislaman.

Komunikasi: 0812-9021-953 & 0812-8376-1455.

Bagikan ke :