Khutbah Jumat: Tiga Sikap Hadapi Musibah

اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Jamaah Sidang Jumat Rahimakumullah.

Secara harfiyah musibah artinya mengenai, menimpa atau membinasakan. Musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendakinya. Kita tentu sepakat bahwa tidak ada satupun dari warga Indonesia apalagi kalangan muslim yang menghendaki musibah gempa bumi dan gelombang Tsunami yang menimpa Sulawesi Tengah, bahkan Aceh beberapa tahun lalu. Musibah telah terjadi dan meskipun kita tidak menghendakinya tetap dan mungkin saja akan terjadi lagi, bahkan yang lebih besar dan lebih dahsyat lagi. Musibah di Palu memang dahsyat, tapi sejarah tentang itu menunjukkan ada yang lebih dahsyat lagi.

Musibah bisa dikelompokkan dengan dua sudut pandang. Musibah bisa disebut sebagai ujian manakala orang atau masyarakat yang tertimpa musibah adalah mereka yang baik, shaleh atau taat kepada Allah swt, hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt:

ولَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗوَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖوَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Sungguh, Kami akan menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Al Baqarah [2]:155-157).

Dari ayat di atas, sikap yang harus ditunjukkan orang yang taat kepada Allah swt adalah selalu sabar atas ujian yang tidak menyenangkan. Pada banyak ayat dinyatakan bahwa Allah swt selalu bersama dengan orang yang sabar. Karena itu, sesulit dan seberat apapun persoalan yang dihadapi oleh seorang muslim, maka kebersamaan dengan Allah swt dalam bentuk kesabaran harus semakin diperkokoh, tanpa itu kesulitan tidak akan tertanggulangi bahkan bisa jadi malah semakin diperbesar oleh syaitan dan hawa nafsu sendiri.

Musibah bisa juga disebut atau dikelompokkan sebagai azab ketika yang tertimpa adalah orang-orang yang durhaka kepada Allah swt, mereka seringkali melakukan kemaksiatan dan sangat sulit menerima nasihat dan peringatan dari manusia, termasuk dari para Nabi, disinilah kita perlu meneliti, mengkaji dan memperhatikan sejarah orang-orang yang durhaka, Allah swt berfirman:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di bumi. Sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan bagi orang -orang kafir akan menerima (nasib) yang serupa itu (QS Muhammad [47]:10).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.

Musibah yang menimpa di berbagai wilayah di negeri kita serta di berbagai kawasan lain di muka bumi ini, bila menimpa orang-orang yang baik mudah-mudahan mereka yang selamat semakin diperkokoh kesabarannya, demikian pula dengan keluarganya yang berada di tempat lain, sedangkan yang wafat semoga dimaafkan kesalahan dan dosanya dan mereka ditempatkan oleh Allah swt di tempat yang menyenangkan dalam kehidupan akhirat. Bila ini merupakan azab untuk orang-orang yang durhaka kepada Allah swt, maka hal ini seharusnya menyadarkan kita semua untuk kembali ke jalan hidup yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya dan yang sudah berada pada jalan yang benar untuk terus istiqomah (memiliki pendirian yang kuat) agar tetap berada di jalan ini.

Terlepas dari ujian atau azab, maka bencana yang menimpa sesama manusia ini apalagi yang terjadi di negeri kita adalah jelas-jelas saudara kita sebangsa, setanah air bahkan seagama, maka seharusnya bisa kita tunjukkan sikap positif yang sebaik-baiknya. Lalu apa yang harus kita tunjukkan?. Paling tidak, ada tiga sikap positif yang harus kita tunjukkan.

Pertama, mengokohkan kesabaran. Secara harfiyah, sabar artinya menahan atau mengekang. Yakni menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan Allah swt karena mengharap ridha-Nya. Sayyid Quthub di dalam tafsirnya mengakui bahwa ketika usaha sedemikian sulit, maka kadang-kadang kesabaran menjadi lemah. Karena itulah diiringkan shalat dalam kondisi seperti ini. Sebab, shalat adalah penolong yang tidak akan hilang dan bekal yang tidak akan habis. Shalat juga menjadi penolong yang akan selalu memperbaharui kekuatan, serta bekal yang selalu memperbaiki hati. Dengan shalat ini kesabaran akan tetap ada dan tidak akan terputus. Justeru shalat akan mempertebal kesabaran sehingga akhirnya kaum muslimin akan ridha, tenang, teguh dan yakin. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, mohonkanlah pertolongan Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah senantiasa beserta orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah [2]:153).

Sikap kedua yang harus kita tunjukkan bila terjadi musibah adalah memberikan pertolongan. Sebagai bukti dari rasa senasib sepenanggungan bahwa musibah di berbagai daerah di negeri kita adalah musibah kita bersama, maka menjadi kewajiban kita untuk membantu atau menolong sesuai dengan tingkat kemampuan kita masing-masing, bahkan bila kita merasa tidak mampu, maka kitapun harus mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok yang tidak urgen (tidak penting sekali), karena sesulit-sulitnya kita, saudara kita yang kini telah kehilangan begitu banyak keluarga dan harta jauh lebih sulit, apalagi mereka menjadi pengunsi yang entah sampai kapan bisa kembali lagi ke tanah kelahiran yang tingkat kerusakannya sangat parah. Ini berarti, yang teruji dari musibah di suatu daerah bukan hanya orang-orang yang berada di daerah itu, tapi kita semua.

Mungkin ada diantara kita yang merasa sudah menolong hanya dengan memberikan pakaian layak pakai, padahal bisa jadi kita sendiri tidak merasa hal itu sebagai sebuah bentuk pengorbanan, karena pakaian itu memang sudah tidak kita pakai, bahkan sudah tidak kita sukai karena bagi kita sudah tidak layahk pakai. Ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti pemberian kita kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, tapi kita memang dituntut untuk berkorban dengan rasa pengorbanan yang besar. Apalagi yang seharusnya kita korbankan tapi belum kita korbankan. Persoalan bencana di berbagai daerah adalah persoalan yang sangat besar yang bisa jadi pemerintah tidak sanggup mengatasinya, karenanya dibutuhkan partisipasi semua pihak tanpa harus saling menuduh dengan tuduhan-tunduhan keji. Tugas kita sekarang adalah menolong, bukan sekadar menonton apalagi hanya menjadi bahan perdebatan dan saling menyalahkan diantara sesama warga bangsa. Allah swt berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS Al Maidah [5]:2).

Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah swt.

Ketiga, yang merupakan sikap positif dalam menghadapi bencana adalah optimis. Kita mengakui bahkan bisa merasakan betapa sulit dan berat persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang dilanda bencana khususnya dan kita semua sebagai warga bangsa akibat dari musibah itu. Namun kitapun tidak boleh larut dalam kesedihan, sebab bila bicara tentang kesulitan, maka banyak sekali dari generasi terdahulu yang dipaparkan dalam sejarah, termasuk di dalam Al-Qur’an yang jauh lebih sulit lagi, karena itu ketika Nabi Muhammad saw mengalami kondisi yang sangat sulit dalam perjuangan, beliau tidak boleh bersikap berlebihan dalam arti tidak boleh merasa sebagai orang yang paling sulit. Harta boleh habis, saudara atau keluarga boleh berkurang, bahkan kekuatan kita menjadi semakin lemah, tapi yakinlah bahwa masih ada Allah swt yang Maha Berkuasa dan Maha Tahu atas kondisi yang kita alami, karena itu setiap kita harus istiqamah dalam kebenaran, Allah swt berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا ۚإِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS Hud [11]:112).

Oleh karena setiap kita, baik yang menjadi korban, keluarga, teman hingga sesama muslim dan sebagai warga bangsa, harus memiliki sikap optimis bahwa ada hari esok yang lebih baik. Kita bisa belajar dari kisah Siti Hajar yang ditempatkan suaminya, Nabi Ibrahim as di Makkah yang pada saat itu di Makkah belum ada kehidupan, tapi karena hal itu memang perintah Allah swt, maka ia menjadi yakin bahwa tidak mungkin Allah swt bermaksud buruk. Dihadapi dan dijalaninyalah kehidupan yang sulit oleh Siti Hajar bersama anaknya Ismail yang masih bayi. Ternyata Makkah hingga hari ini terus hidup, bahkan “tidak ada matinya”.

Seiring dengan sikap optimisme, maka secara bersama-sama masyarakat yang tertimpa musibah kita harus membangun kembali daerah bencana, tidak hanya fasilitas hidup yang dibutuhkan, tapi juga membangun sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu dan sehat jasmani serta rohani. Disamping itu juga selalu berdo’a kepada Allah swt agar kita memperoleh kemudahan dan kekuatan yang dibutuhkan dalam mengatasi persoalan.

Demikian khutbah Jumat kita pada hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, amien.

بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Penulis/ Khatib:

Drs. H. Ahmad Yani

Ketua Departemen Dakwah, Ukhuwah dan Sumberdaya Keumatan Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI)

Bagikan ke :