DMI.OR.ID, JAKARTA – Nilai mata uang kartal dan giral yang terus-menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, atau disebut inflasi dan deflasi, mengakibatkan tabungan nasabah di bank-bank konvensional berbeda nilainya setiap bulan, sehingga wajar jika jumlah tabungan nasabah di bank-bank itu berubah.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Drs. KH. Masdar Farid Mas’udi, M.Si, menyatakan hal itu saat menjadi narasumber dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan Waqaf dan Aset-Aset Masjid di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Selasa (26/5) sore.
“Bertambah dan berkurangnya uang simpanan nasabah di bank-bank konvensional dengan sistem bunga bank per bulan belum tentu bersifat riba karena adanya inflasi dan deflasi mata uang dari waktu ke waktu,” tutur Kiai Masdar pada Selasa (26/5) sore.
Jika pertambahan atau pengurangan uang nasabah bank tidak melebihi tingkat inflasi dan deflasi dalam periode tertentu, lanjutnya, maka jumlah nominal uang itu menjadi hak milik nasabah, bukan riba. “Sebaliknya jika jumlah uang yang diterima nasabah itu melebihi tingkat inflasi dan deflasi, itu baru disebut riba, bukan hak milik nasabah bank,” ungkapnya.
Pemahaman fiqih seperti ini, jelasnya, menjadi alasan sebagian u’lama memahami bunga bank yang tidak melebihi nilai inflasi dan deflasi mata uang sebagai bukan riba, tetapi justru menjadi hak milik nasabah bank itu. “Saya termasuk yang mendukung pendapat itu, namun ini hanya pilihan pemahaman fiqih saja,” jelasnya.
Pada masa Rasulullah SAW, papar Kiai Masdar, nilai tukar mata uang tidak pernah mengalami inflasi dan deflasi karena menggunakan emas dan perak sebagai bahan baku uang dinar dan dirham. Mata uang ini nilainya tetap dari waktu ke waktu, sehingga jika ada kelebihan atau kelebihan sedikit saja dalam proses hutang-piutang, maka dapat disebut riba.
“Nilai tukar satu dirham sejak masa Rasulullah SAW hingga saat ini tidak pernah berubah, sehingga menjadi patokan untuk zakat harta, yakni setiap Muslim yang memiliki 40 dirham, maka wajib membayar zakat sebesar satu dirham setiap tahunya,” ujarnya.
Dalam sesi dialog ini, Kiai Masdar juga menegaskan negara atau pemerintah tidak berhak menghakimi keyakinan agama warga negaranya karena hal itu menjadi hak mutlak Allah SWT di hari akhir nanti, Yaumiddiin, hari agama. “Hal ini sesuai dengan sifat Ar–Rahman dan Ar-Rahim yang dimiliki Allah SWT,” ungkapnya.
“Selama manusia masih hidup di alam dunia, Allah SWT akan memberikan sifat Ar-Rahman-nya kepada seluruh manusia di dunia ini tanpa kecuali, tanpa pilih kasih, dan bersifat universal. Apa pun keyakinan agama yang dianut manusia, bahkan orang atheis sekalipun, semuanya sama dalam menjalani hukum-hukum Allah SWT di muka bumi ini,” paparnya.
Untuk menjadi orang yang sukses dan bermartabat di dunia, jelasnya, manusia harus memiliki sifat jujur, adil, amanat, kerja keras, disiplin, profesional dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk menguasai dunia dan alam semesta, suatu bangsa juga harus memiliki kekuatan fisik dan non fisik, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pendidikan, ekonomi, militer dan kecerdasan berpikir.
“Kondisi seperti ini berlaku universal bagi setiap manusia tanpa kecuali, apa pun keyakinan agamanya, bahkan yang tidak beragama, ini sesuai dengan sifat Ar-Rahman-nya Allah SWT. Sebagai satu-satunya agama yang haq dan benar, keyakinan seorang Muslim baru akan diadili dan dipertanggungjawabkan di ahari akhir nanti, Yaumiddiin, hari agama,” jelasnya.
Pemerintah dan negara, lanjutnya, tidak boleh menghakimi atau menghukum warga negaranya hanya karena memiliki keyakinan berbeda atau non-Muslim. Begitu pula sekelompok masyarakat yang melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat lainnya yang berbeda agama atau mengikuti aliran sesat.
“Hal ini jelas dilarang dalam ajaran Islam, karena mereka sudah bertindak seperti Allah SWT, sebagai Maha Pencipta dan satu-satunya dzat yang berhak meghakimi keimanan manusia,” tegasnya.
Dalam sesi dialog ini, Kiai Masdar menjadi narasumber bersama-sama dengan Direktur Keuangan (Finance Director) PT. Asuransi Jiwa Reliance Indonesia, Dody Setiabudi, SE, SH, MM, seorang praktisi keuangan dan asuransi. Sesi dialog ini bertema Telaah Peranan Asuransi dalam Meningkatkan Potensi Waqaf.
Adapun moderator dalam sesi dialog ini ialah Tim Teknisi Akustik Masjid PP DMI, Drs. H. Aziz Muslim, yang juga dosen filsafat Islam Universitas Islam Asy-Syafi’iyah.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani