Konflik Berdarah Suriah, Pengungsi, dan Kepentingan Politik Internasional

Innalillahi wa innalillahi Rooji’un, sedikinya 470 ribu jiwa tercatat telah meninggal dunia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi di Suriah sejak awal mula pecahnya konflik pada Maret 2011 lalu, lebih dari enam tahun yang lalu. Data ini dirilis oleh Syrian Centre for Policy Research (SCPR), sebuah lembaga pemantau Suriah, pada 2016 dan dikutip oleh The Guardian, media asal Inggris, dari Kantor Berita Reuters pada 11 Februari 2016 lalu.

Seperti dikutip dari laman https://www.theguardian.com/world/2016/feb/11/report-on-syria-conflict-finds-115-of-population-killed-or-injured, jumlah korban jiwa akibat konflik Suriah yang dirilis oleh SCPR ini jauh lebih banyak dari data statistik yang dikumpulkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah dihentikan sejak 18 bulan sebelumnya, Agusus 2015, yakni sebanyak 250 ribu jiwa.

Keterangan: Lambang Syrian Centre for Policy Research

SPCR juga melaporkan estimasi (prediksi) data bahwa sebanyak 11,5 persen dari populasi penduduk Suriah telh terbunuh atau terluka sejak krisis Suriah mulai meledak pada Maret 2011 lalu. Sedangkan warga yang luka-luka mencapai sedikitya 1,9 juta jiwa. Akibat konflik berkepanjangan ini, harapan hidup penduduk Suriah pun menurun dari usia 70 tahun pada tahun 2010 menjadi hanya 55,4 tahun pada 2015. Kerugian ekonomi juga ditaksir mencapai 225 miliar US$ atau sekitar 175 miliar Poundsterling (£).

SPCR pun merilis data bahwa dari 470 ribu korban jiwa yang tewas akibat konflik di Suriah, sebanyak 400 ribu jiwa diantaranya meninggal dunia karena kekerasan selama konflik terjadi. Sedangkan 70 ribu jiwa sisanya meninggal dunia karena kekurangan sarana kesehatan (medis), obat-obatan, khususnya untuk penyakit-penyakit kronis, kekurangan makanan, air bersih, sanitasi, dan tempat tinggal yang layak, khususnya penduduk yang terlantar di dalam wilayah konflik.

Laporan SPCR ini ditulis dan dipublikasikan oleh salah seorang penelitinya, Rabie Nasser, dan dirilis oleh The Guardian seperti dikutip dari Reuters pada 11 februari 2016 lalu. “Kami menggunakan metode penelitian yang sangat ketat dan kami yakin dengan angka ini,” tutur Rabie Nasser.

Adapun jumlah pengungsi Suriah yang keluar dari teritorial negaranya diprediksi oleh Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) telah mencapai sedikitnya 5.018.168 jiwa sejak konflik Suriah meletuh pada Maret 2011 lalu.

Seperti dilansir dari laman http://www.antaranews.com/berita/621516/unhcr-jumlah-pengungsi-suriah-lebih-dari-5-juta-orang pada Sabtu (1/4), jumlah pengungsi sebanyak itu telah menyelematkan diri ke Turki, Mesir, Irak, Yordania, dan Lebanon sejak konflik Suriah meletus pada Maret 211 lalu. Informasi ini diumumkan oleh Komisaris Tinggi UNHCR, Filippo Grandi.

UNHCR: Jumlah pengungsi Suriah lebih dari 5 juta orang

Keterangan: Komisaris Tinggi UNHCR, Filippo Grandi

Jumlah pengungsi yang dirilis oleh UNHCR ini belum termasuk pengungsi Suriah yang ada di negara-negara Eropa lainya seperti Yunani, Bulgaria, Hongaria, dan kawasan Balkan Barat. Data yang dirilis oleh organisasi Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) pada Sabtu (6/5) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat 75 ribu pengungsi dan migran yang berada di negara persinggahan di Eropa seperti Yunani, Bulgaria, Hongaria, dan Balkan Barat. Mereka sedang menghadapi ancaman tekanan kejiwaan, termasuk 24.600 anak-anak diantaranya.

“Hampir 75.000 pengungsi dan migran, termasuk sebanyak 24.600 anak, yang saat ini terdampar di Yunani, Bulgaria, Hongaria dan Balkan Barat, menghadapi ancaman tekanan kejiwaan karena hidup dalam kondisi tak menentu yang terus-menerus,” tulis UNICEF seperti dikutip dari laman http://www.antaranews.com/berita/627713/75000-pengungsi-di-negara-singgah-eropa-derita-tekanan-jiwa.

Konflik berdarah dan berkepanjangan di Suriah yang terjadi sejak Maret 2011 lalu telah melibatkan berbagai aktor politik di Suriah. Pihak pertama ialah Pemerintah Suriah di bawah pimpinan Presiden dr. Basyar Hafizh al-Assad yang telah berkuasa selama 16 tahun terakhir di Suriah, tepatnya sejak 17 Juli Tahun 2000. Saat berlangsungnya konflik Suriah, pemerintahan Assad ini didukung penuh oleh negara-negara sekutu utama Suriah, yakni Federasi Russia, Republik Islam Iran, dan Republik Rakyat China (RRC).

Keterangan: Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, sedang berbicara dengan Pasukan Suriah dalam kunjungannya menuju garis depan di pinggiran Kota Damaskus, Marj al-Sultan, Suriah. Foto: SANA (Syrian Arab News Agency) melalui AP (Associated Press). Sumber: http://www.russia-direct.org/opinion/why-assad-could-remain-syrian-president-until-2017

Sedangkan pihak kedua ialah kelompok oposisi Free Syrian Army atau Tentara Pembebasan Suriah. Kelompok ini didukung oleh mayoritas negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, dan Republik Perancis, serta sebagian negara Muslim seperti Kerajaan Saudi Arabia (KSA), Republik Turki, Keemiran Qatar. Negara lain yang ikut mendukung FSA atau kelompok oposisi moderat di Suriah ialah Republik Israel, Republik Mesir, dan Kerajaan Yordania, Republik Jerman, Republik Italia, dan Keemiran Uni Emirat Arab (UEA).

Gambar terkait

Keterangan: Lambang Free Syrian Army

Gambar terkait

Keterangan: FSA, Sumber: http://www.huffingtonpost.com/?icid=hjx004

Diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik berdarah Suriah selama 6 tahun terakhir itu, terdapat juga kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Daesh/ IS yang ingin mendirikan negara Islam versi mereka sendiri dengan basis utama di Iraq dan Suriah. Kelompok ini tidak mendapatkan dukungan resmi dari berbagai negara di dunia, namun memiliki sumber daya ekonomi (sumber minyak) dan finansial secara ilegal sehingga berhasil bertahan di sejumlah negara seperti Libya, Iraq, Suriah, dan sebagian kecil wilayah Yordania, Mesir, dan Palestina.

Israel Berharap ISIS Tak Kalah Perang di Suriah

Keterangan: Foto Pasukan ISIS (Istimewa). Sumber: https://international.sindonews.com/read/1119129/43/israel-berharap-isis-tak-kalah-perang-di-suriah-1466664171

Beberapa pihak lainnya yang ikut terlibat dalam konflik ialah Pasukan Milisi Kurdi atau Yekîneyên Parastina Gel (YPG), dan Pasukan Demokratik Suriah atau Syrian Democratic Front (SDF)Masyarakat Kurdi telah sejak lama ingin memerdekakan wilayahnya dari negara-negara seperti Suriah, Iraq, dan Turki. Mereka ikut terlibat dalam konflik Suriah dan direspon oleh Pemerintah Turki dengan mengirimkan pasukan militer ke sepanjang perbatasan Turki-Suriah. Dalam konflik Suriah ini, YPG berafiliasi dengan SDF dan keduanya didukung oleh pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Donald Trump

Perang segitiga Turki-Kurdi-ISIS semakin runyamkan Suriah

Keterangan: Tank Tentara Turki di Perbatasan Turki-Suriah (Reuters/ Murad Sezer).

Seperti dilansir dari laman http://www.antaranews.com/berita/581156/perang-segitiga-turki-kurdi-isis-semakin-runyamkan-suriah pada Ahad, 28 Agustus 2016, Pemerintah Turki di bawah pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoğan telah melakukan kampanye militer di Suriah untuk mencegah milisi Kurdi mendapat pijakan wilayah di Suriah dan sekaligus memukul mudur kelompok ISIS dari perbatasan kedua negara.

Turki juga ingin menghentikan pasukan Kurdi yang berniat menguasai bentangan panjang wilayah perbatasan Turki-Suria. Menurut Turki, kondisi ini akan memperkuat kelompok militan Kurdi, Partiya Karkerên Kurdista (PKK), yang melakukan pemberontakan di dalam negeri Turki selama tiga dekade (30 tahun) terakhir.

Apalagi YPG berafiliasi dengan PKK di Turki. Otoritas keamanan Turki pun telah mengirim jet-jet temput F-16 untuk membombardir sebuah situs yang dikuasai oleh milisi YPG Kurdi. Dalam konflik Suriah, milisi YPG menjadi bagian dari koalisi SDF dan didukung oleh pemerintah AS. Serangan udara itu juga menerjang enam sasaran yang diklaim Turki menjadi wilayah ISIS.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (ki) dan Presiden AS Donald Trump berjabat tangan usai memberi keterangan pada wartawan di Gedung Putih, Washington, AS, 16 Mei 2017. (Foto: Reuters)

Keterangan: Pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Recep Tayyip Erdogan di Gedung Putih, Washington D.C., pada Selasa (16/5). Sumber: Reuters.

Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani

Bagikan ke :