Masjid Ampel Denta atau Masjid Agung Sunan Ampel tidak dapat dipisahkan dari kisah perjuangan salah satu ulama besar dan penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang tergabung dalam Wali Songo (Wali Sembilan), yakni Sunan Ampel atau Raden Ahmad Rahmatullah atau Raden Rahmat. Masjid Ampel Denta juga menjadi saksi bisu dari toleransi dan hubungan baik antara ummat Islam di wilayah Jawa bagian Timur dengan penguasa Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V.
Alhamdulillahi Rabbil A’lamin, penulis berkesempatan untuk hadir dan berkunjung ke Masjid Ampel pada Ahad (3/9) pagi bersama kedua orang tua. Kami juga menunaikan sholat tahiyyatul masjid dan sholat dhuha sebanyak masing-masing dua roka’at, lalu berziarah ke makam Sunan Ampel dan keluarganya, serta santri-santri utamanya di kompleks Masjid Ampel.
Berdasarkan pantauan DMI.OR.ID, di bagian dinding serambi depan (bangunan tambahan) Masjid Ampel, terdapat sebuah prasasti perluasan Masjid Ampel berukuran sedang dengan tulisan aksara Arab Pegon berwarna cokelat yang dipahat di atas batu marmer. Prasasti ini melukiskan proyek perluasan masjid Ampel pada tanggal 15 Jumadil Awal Tahun 1287 Hijriah (H) oleh Kanjeng Raden Adipati Aryo Cokronegoro V.
Informasi ini terdapat secara lengkap dalam sebuah Thesis di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel dengan judul Prasasti Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya: Studi Tetang Kontak Peradaban Antara Jawa, Arab dan Barat dalam Kronologi yang ditulis oleh Iva Istiqomah pada tahun 2014, sebagaimana dikutip dari laman http://digilib.uinsby.ac.id/7834/. Tepatnya dalam Bab III halaman 47-52, seperti terdpat dalam laman http://digilib.uinsby.ac.id/7834/4/bab3.pdf.
Dalam prasasti itu, tertulis bahwa Masjid Agung Sunan Ampel didirikan oleh salah satu keturunan Rasulullah Muhammad SAW, yakni Sayyidina Abu Rahmat Arifin al Aidaq atau Sunan Ampel, yang juga penguasa Ampel Denta Surabaya. Beliau diangkat oleh Ratu Brawijaya (Prabu Brawijaya V), penguasa terakhir Kerajaan Majapahit sebagai penguasa Ampel Denta Surabaya pada tahun 1362 Jawa. Sunan Ampel wafat sebagai ulama pada tahun 1391 Jawa.
Lalu masjid ini diperluas oleh Kanjeng Raden Adipati Aryo Cokronegoro V pada hari Ahad, 15 Jumadil Awal Tahun 1287 Hijriah, yang ditandai dengan peletakan fondasi awal bangunan. Proyek perluasan itu juga dibantu oleh berbagai kalangan, yakni para ulama. priyayi, serta masyarakat sekitar (penduduk laki-laki dan perempuan), khususnya Haji Muhammad Ihsan Nadhir, seorang pensiunan Wedana. Mereka pun berupaya memperindah masjid secara maksimal. Akhirnya, proyek perluasan Masjid Ampel dapat diselesaikan pada tahun 1287 Hijriyah.
Kemudian pada tanggal 17 Desember 1915, Kanjeng Adipati Aryoniti Adiningrat mendirikan organisasi masjid bernama Komite Masjid Sentono Ampel dengan dirinya sebagai Pemimpin Tertinggi (Bestuur Heer), dan As Sayyid Muhammad bin Alwi al Jufri sebagai Presiden atau Ketua Pelaksana serta empat orang sebagai anggota tetap (Leed Bestuur) dan enam orang sebagai anggota biasa (Leed biasa).
Selain itu, penulis juga melihat satu prasasti lainnya yang dibuat oleh Pemeirntah KOta (Pemkot) Surabaya pada Tahun 2015 lalu. Prasasti yang terbuat dari batu marmer berwarna hitam itu menuliskan bahwaMasjid Ampel Denta yang terletak di Jalan Ampel Suci Nomor 45, Surabaya, itu merupakan bangunan cagar budaya. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya Nomor: 188.45/251/402.1.104/1996 pada 26 September Tahun 1996 Nomor Urut 51. Masjid Ampel dibangun sekitar Tahun 1420 Masehi dan berfungsi sebagai pusat Keislaman tertua di Surabaya.
Penulis juga melihat sejumlah gapura berbentuk persegi panjang dengan ukuran cukup besar dan berwarna hijau lumut yang ada di sekeliing Masjid Ampel. Gapura-gapura itu memiliki simbol ornamen yang berbeda-beda seperti bunga teratai bersegi delapan, bunga bersegi enam, dan bunga bersegi delapan dengan dua corak berbeda, serta tanaman berbentuk mahkota kerajaan yang terdapat di bagian atas gapura-gapura itu. Semua model ornamen itu semakin menegaskan akulturasi budaya antara Kerajaan Majapahit yang masih beragama Hindu, budaya Jawa, budaya Arab, dan agama Islam. Lima gapura masjid ini semakin menambah eksotisme dan keunikan Masjid Ampel Denta.
Saat itu, penulis juga melihat ratusan peziarah tampak memadati kompleks Makam Sunan Ampel, keluarganya, dan para santri utamanya yang juga berada di kompeks Masjid Ampel Denta. Mereka dengan khidmat dan khusyuk membaca tahlil, takbir, tahmid, dan tasbih ke hadirat Allah SWT sembari memanjatkan do’a untuk almarhum Sunan Ampel beserta keluarga dan para pengikutnya serta seluruh ummat Islam di dunia ini. Para peziarah juga membaca sejumlah surat-surat dalam kitab Suci al-Qur’an seperti Surat Yasin, Al-Kahfi, dan do’a-do’a lainnya.
Seperti dikutip dari laman www.republika.co.id. kelma gapura yang terdapat di sekeliling Masjid Ampe berfungsi untuk mengingatkan setiap Muslim yang hendak memasuki kompleks masjid untuk senantiasa memohon ampunan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Gapura berasal dari kata dalam bahasa Arab, ghafura, artinya ampunan. Lima gapura itu juga merefleksikan lima rukun Islam sebagai inti ajaran agama Islam.
Di sebelah selatan masjid, terdapat gapura pertama yang bernama Gapuro Munggah, artinya naik. Gapura ini menyimbolkan rukun Islam yang kelima, yakni Haji. Dalam tradisi jiwa, orang yang naik haji disebut juga munggah haji. Terdapat pula gapura kedua di sebelah selatan masjid dengan nama Gapuro Poso (Puasa). Gapura ini secara implisit mengajarkan umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Adapun gapura ketiga ialah Gapuro Ngamal atau beramal. Gapura ini menyimbolkan pentingnya beramal baik bag umat Isam untuk membantu sesama Muslim yang saling membutuhkan.
Sedangkan di sebelah barat Masjjid Ampe, terdapat Gapuro Madep yang berarti menghadap, yakni menghadap ke arah kiblat ketika seseorang mendirikan sholat. Adapun gapura terakhir ialah Gapuro Paneksan, yakni kesaksian. Artinya, setiap Muslim bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan abi Muhammad adalah utusan Allah. Hal menarik lainnya ialah posisi masjid yang terletak tepat di tengah lima gapura. Hal ini berarti bahwa umat Islam harus melaksanakan rukun Islam secara sempurna, terutama di dalam masjid, untuk menyembah, mensucikan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani