Salah satu masjid paling bersejarah dan fenomenal di Kota Yogyakarta, ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ialah Masjid Gedhe Kauman. Masjid ini terletak tepat di sebelah barat alun-alun utara (lor) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Secara administratif, masjid ini berlokasi di Jalan Kauman, Alun-Alun Keraton, Ngupasan, Yogyakarta, Kota Yogyakarta.
Masjid Gedhe Kauman juga memiliki dua nama lain, yakni Masjid Raya Kesultanan Yogyakarta dan Masjid Besar Yogyakarta, serta tidak dapat dipisahkan dari nama besar pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi. Masjid ini pun dikenal dengan konstruksi arsitektur bergaya tajug lambang teplok dan pintu utama kompleks masjid yang menggunakan arsitektur bergaya semar tinandhu.
Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki nama asli Raden Mas Sujana dan memiliki gelar lengkap Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-Ing-Ngalogo Sayiddin Panotogomo Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Siji. Beliau membangu Masjid Gedhe Kauman bersama-sama dengan Kyai Faqih Ibrahim Dipaningrat yang juga penghulu pertama dalam sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun arsitek masjid ini ialah Kyai Wiryokusumo. Masjid ini mulai dibangun pada Ahad Wage, 29 Mei 1773 Masehi (M), bertepatan dengan 6 Rabi’ul Akhir 1187 Hijriah (H).
Alhamdulillahi Rabbil A’lamiin, penulis berkesempatan untuk hadir dan mengikuti ibadah sholat jumat berjama’ah di Masjid Gedhe Kauman pada Jumat (4/8) siang. Saat itu, yang menjadi khatib sekaligus imam sholat Jumat ialah tokoh reformasi Indonesia, Prof. H. Amien Rais, M.A., Ph.D., yang pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) RI Tahun 1999-2004. Saat itu, terlihat ratusan jama’ah memadati Masjid Gedhe Kauman mulai dari ruang utama hingga serambi masjid. Mereka hadir untuk bersama-sama menunaikan ibadah sholat fardhu Jum’at berjama’ah.
Berdasarkan pantauan DMI.OR.ID, Masjid Gedhe Kauman memiliki sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati dengan ukir-ukiran berwarna emas khas Yogyakarta. Terdapat juga tiga buah anak tangga dan satu tempat duduk untuk khatib di dalam mimbar itu. Mimbar masjid ini terdapat di sisi kanan bagian depan Masjid Gedhe Kauman. Tiga anak tangga itu seketika mengingatkan penulis terhadap proses perjalanan ruhani seorang Muslim selama hidup di dunia, yakni tingkat syari’at atau ibadah kepada Allah SWT dalam arti luas, sebagai tahapan awal (garis start) untuk menjadi Muslim yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT atau tingkat makrifat. Setelah dekat dengan Allah SWT, seorang Muslim yang ikhlash (mukhlish) dan ihsan hanya mengharapkan keridhlaan Allah SWT dan selalu mencitai-Nya serta utusan-Nya, Rasulullah Muhammad SAW sehingga mampu mencapai tingkat hakikat dalam memaknai tujuan penciptaan dirinya selama hidup di dunia ini.
Sedangkan di sisi kiri bagian depan masjid, terdapat bangunan tiga dimensi berbentuk empat persegi panjang yang terbuat dari kayu jati dengan ukir-ukiran khas Yogyakarta yang berwarna emas dan sebagian berwarna hijau. Bangunan ini dikenal dengan sebutan Maksura, yakni tempat khusus yang digunakan oleh Sultan Hamengku Buwono ketika beribadah di Masjid Gedhe Kauman. Para penjaga keamanan Sultan pun beribadah dengan posisi di samping dan di belakang Maksura untuk menjaga keamanan Sultan selama berada di masjid.
Ketika mengamati, melihat, dan menginjakkan kaki di Masjid Gedhe Kauman, penulis merasa seolah-olah kembali ke masa silam, saat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat megalami masa-masa kejayaannya. Tepatnnya ketika kesultanan menjadi pelindung dari dakwah dan syiar Islam oleh para ulama, zu’ama, dan cendekiawan di Yogyakarta dengan Masjid Gedhe Kauman sebagai pusatnya. Saat memasuki area Masjid Gedhe Kauman, penulis disambut oleh lantai bertipe paving block yang sama dengan lantai khas Keraton Ngayogyakarta. Lalu terdapat dinding dengan ukuran cukup tinggi yang mengelilingi kompleks Masjid Gedhe Kauman, termasuk halaman masjid yang cukup besar di bagian depan.
Sedangkan di pintu masuk utama serambi masjid, terdapat bangunan berbentuk setengah lingkaran (180 derajat) dengan ukuran cukup besar. Bangunan itu berwarna kuning muda dengan simbol Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di bagian tengahnya. Bangunan ini juga dilengkapi dengan jam dinding berukuran cukup besar yang sayangnya sedang tidak berfungsi. Warna merah bata di seluruh atap masjid itu juga sangat menarik perhatian setiap pengunjung Masjid Gedhe Kauman.
Terdapat dua baris atap yang berwarna merah bata dan berbentuk limas terbalik di Masjid Gedhe Kauman. Baris pertama di bagian depan ialah atap bersusun tumpang dua untuk serambi masjid. Meskipun atap itu berwarna merah, namun bagian dalamnya justru berwarna putih dengan ornamen dan ukiran berwarna putih dan hijau yang modelnya hampir sama dengan Keraton Yogyakarta, termasuk tiang-tiang penyangganya. Lantai di serambi masjid pun lebih tinggi daripada lantai di halaman masjid. Lantai itu terbuat dari marmer berwana cokelat tua dan muda tanpa lapis apa pun.
Penulis juga melihat ada banyak lampu-lampu berukuran besar dan kecil yang tergantung di bawah atap serambi masjid. Terdapat sedikitnya enam buah lampu gantung berukuran besar dan berwarna hitam dengan ornamen dan ukiran khas keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di bagian utama atap serambi masjid. Seketika angka enam ini mengingatkan penulis dengan enam rukun iman dalam ajaran Islam. Ada pula lampu-lampu berukuran jauh lebih kecil yang terletak di atap utama serambi masjid, di sekitar lampu-lampu gantung itu.
Sedangkan di baris kedua bagian tengah masjid ialah atap bersusun tumpang tiga untuk ruang utama masjid. Ruangan utama ini terdiri dari 36 tiang penyangga bangunan masjid yang terbagi dalam enam tiang di setiap barisnya. Tiang-tiang itu berdiri kokoh dan belum pernah diganti sejak masjid ini pertama kali berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu. Lantai di ruang utama masjid juga lebih tinggi daripada di serambi masjid. Lantai ini dilapisi oleh permadani berwarna merah tua yang cukup tebal sehingga membuat nyaman para jama’ah masjid yang sedang beribadah.
Mengamati kondisi ini, secara spontan penulis memaknai enam tiang di setiap baris merupakan simbol dari rukun iman, sedangkan 36 tiang di dalam ruang utama masjid terdiri dari angka tiga dan enam yang jika dijumlahkan menjadi sembilan. Angka sembilan ini melambangkan wali songo (sembilan) yang sangat masyhur dalam melakukan syiar dan dakwah Islam di seluruh Pulau Jawa, termasuk di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan eks-kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Angka sembilan juga melambangkan usaha tertinggi dan upaya maksimal yang bisa dilakukan oleh seorang manusia selama masih hidup di dunia karena kesempurnaan atau sering dilambangkan dengan angka 10 hanya milik Allah SWT, Sang Maha Pencipta alam semesta.
Keunikan lain dari Masjid Gedhe Kauman ialah adanya tujuh buah prasasti yang menuliskan tentang proses pembangunan masjid dengan aksara Jawa dan Arab. Dari tujuh prasasti itu, dua prasasti berbahasa dan berhuruf Arab, sedangkan lima prasasti lainnya berbahasa Jawa dengan aksara Jawa. Prasasti-prasasti ini terpasang di dinding serambi masjid dengan susunan tiga prasasti di sebelah kanan (timur) dinding masjid serta empat prasasti di sebelah kiri masjid.
Termasuk tentang proses pembangunan bagian-bagian dari masjid yang ternyata tidak bersamaan. Misalnya, bagian serambi masjid yang baru dibangun dua tahun sesudah ruang utama masjid selesai, tepatnya pada 20 Syawwal Tahun Jimawal, Tahun 1701 Tahun Jawa. Itu pun karena jumlah jama’ah yang terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan semakin pesatnya pembangunan di wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Prasasti-prasati ini juga merekam dan menulis dengan baik peristiwa gempa bumi besar yang pernah meluluhlantakkan Yogyakarta, termasuk Masjid Gedhe Kauman, pada Pukul 05:00 pagi, hari Senin Wage, 7 Safar 1284 Hijriah, bertepatan dengan 1867 Masehi, sehingga beberapa bagian masjid harus direnovasi kembali, sebagian ditambah dan sebagian dikurangi. Prasasti ini bersifat informatif dan dapat dibaca oleh para pengunjung mengenai perjalanan sejarah Masjid Gedhe Kauman dari masa ke masa. Misalnya, mengenai pembangunan kembali ruang serambi masjid pasca gempa besar itu dengan menggunakan bahan-bahan material dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani