Mengapa Jumlah Pengusaha Tionghoa Lebih Banyak Daripada Pribumi?

DMI.OR.ID., JAKARTA – Wakil Presiden Republik Indonesia (RI), DR. H. Muhammad Jusuf Kalla, telah menceritakan tentang perjalanan sejarah kebijakan pemerintah RI di bidang perekonomian, khususnya di ere orde baru, di masa pemerintahan Presiden kedua RI, H. Muhammad Soeharto, dan berlanjut ke era reformasi hingga saat ini.

Bahkan kebijakan orde baru itu dialami sendiri oleh Wapres Jusuf Kalla dan keluarga besarnya saat masih aktif berbisnis di perusahaan. Salah satunya terkait lebih banyaknya jumlah pengusaha Tionghoa daripa pengusaha pribumi. Wapres Kalla memaparkan hal ini saat menutup secara resmi Kongres Ekonomi Umat 2017 pada Senin (24/4) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.

Kegiatan ini mengangkat tema: Arus Baru Ekonomi Indonesia pada Sabtu (22/4) hingga Senin (24/4) dan diselenggarakan oleh Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat (KPEU) – Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Kenapa kita kekurangan pengusaha (pribumi) dibandingkan (pengusaha) Tionghoa? Sederhana sekali, karena pengusaha Tionghoa kalau punya anak lima, maka lima-limanya menjadi pengusaha. Karena dulu tidak bisa jadi tentara atau pegawai pemerintah,” paparnya.

Misalnya pengusaha tionghoa itu punya toko, lanjutnya, maka anaknya diminta untuk membuat toko yang lain, dan anak-anaknya akan membuka toko lagi. “Jadi mereka membuka toko, usahanya berkembang, dan menjadi pengusaha besar,” papar Wapres Kalla pada Senin (24/4).

Menurut Wapres Kalla yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu, kebijakan pemerintahan orde baru di masa Presiden Soeharto tidak mengizinkan warga keturunan Tionghoa untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan militer atau polisi dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

“Sedangkan kita ini (pribumi), punya anak lima (hanya) satu (yang) jadi pengusaha, sisanya jadi PNS, tentara, dan sebagainya, Jadinya nggak tambah-tambah pengusahanya. Kadang lanjut usahanya, kadang tidak lanjut juga. Misalnya punya toko, ya toko itu aja,” jelasnya.

Namun, Wapres Kalla juga menceritakan pengecualian kisah hidup yang dialami oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta saat ini, Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). “Mungkin Ahok saja yang beda. Ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dulu enggak ada yang bisa seperti itu,” ucap Wapres Kalla yang juga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat itu.

Wapres Jusuf Kalla menyampaikan hal ini di depan 400 peserta Kongres Ekonomi Ummat 2017 serta para undangan lainnya yang turut hadir, termasuk Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terpilih 2017-2022, H. Sandiaga Salahuddin Uno, M.B.A.

Wapres Kalla pun memukul gong sebagai tanda berakhirnya Kongres Ekonomi Umat 2017. Wapres turut didampingi oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat, DR. KH. Makruf Amin, yang juga Rais A’am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Turut mendampingi Wapres Kalla yakni Ketua Panitia Pelaksana Kongres Ekonomi Umat 2017, Dr. Ir. H. Lukmanul Hakim, M.Si., yang juga Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI, serta Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI, H. Muhammad Azrul Tanjung, M.Si.

Dari 400 undangan itu, beberapa diantaranya ialah pengurus PP DMI, yakni Ketua PP DMI dan Ketua Departemen Sarana, Hukum, dan Waqaf, Drs. H. Muhammad Natsir Zubaidi, dan Dr. H. Nadjamuddin Ramly, M.Si.

Turut hadir Anggota Departemen Pengembangan Ekonomi Ummat (PEU) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) PP DMI, Ir. H. Sugiono, S.E., dan Sekretaris Departemen Komunikasi, Informasi (Kominfo), Hubungan Antar Lembaga (Hubla) dan Luar Negeri (LN) PP DMI, H. Hery Sucipto, Lc., M.M.

* Dikutip dari berbagai sumber berita

Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani

Bagikan ke :