DMI.OR.ID, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berharap agar Turki tidak mengalami nasib sama seperti Mesir pasca percobaan kudeta militer yang gagal terhadap pemerintahan Presiden Zagreb Recep Tayyip Erdogan pada Jumat (15/7) malam di Ankara, Turki.
Sekretaris Jenderal PBNU, Dr (Hc). H. Helmy Faishal Zaini, S.T., M.Si., menyatakan hal itu pada Senin (18/7) sore di Gedung PBNU, Jakarta, dalam Diskusi Taswirul Afkar bertema: Kudeta Turki, Transisi atau Konspirasi?
“Kami prihatin dan sedih dengan adanya ketidakpastian tersebut tanpa berpretensi siapa yang berkuasa. Jangan sampai Turki mengalami nasib seperti Mesir,” tutur Helmy pada Senin (18/7), seperti dikutiip dari laman www.nu.or.id.
Percobaan kudeta militer yang terjadi untuk keenam kalinya dalam sejarah Turki modern ini, lanjutnya, tentu mengejutkan dunia. Apalagi selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, Turki telah diperintah oleh kelompok sipil yang secara nyata menghasilkan kemajuan dalam berbagai bidang.
“Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan terhadap kondisi keamanan Turki mengingat di negeri dua benua ini, Asia dan Eropa, banyak tersimpan artefak-artefak penting sejarah perkembangan Islam seperti stempel yang digunakan oleh Rasulullah SAW, rambut Rasulullah, dan benda-benda bersejarah yang tidak ternilai harganya yang tersimpan di berbagai museum di Turki,” papar Helmy.
Menurutnya, pergantian kekuasaan di Turki bisa saja menyebabkan benda-benda itu dihancurkan, seperti yang terjadi di Saudi Arabia, yang memusnahkan banyak sekali benda-benda bersejarah. Berkaca dari Mesir, saat berkunjung sebelum dan sesudah terjadi krisis politik, terlihat jelas Mesir yang sebelumnya ramai dikunjungi wisatawan kemudian menjadi sepi.
“Jangan sampai Turki mengalami krisis dan akhirnya menjadi negara gagal, seperti Pakistan dan negara-negara Muslim lain berakhiran ‘tan’ seperti Afghanistan dan lainnya,” imbuh mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggi (PDT) RI ini.
Helmy memiliki tiga analisis terkait peritiwa kudeta di Turki. Pertama, adanya invisible hand, yakni tangan-tangan global yang bermain, baik dari eksternal seperti Israel, atau dari faktor internal, yaitu kudeta yang memang sengaja dibuat.
Kedua, mungkin saja ada keniscayaan (keterlibatan) dari para pengikut Gulen yang sudah jengah dengan perilaku rezim saat ini, yang dinilai sudah semakin jauh dari cita-cita yang diinginkan bersama dahulu.
“Sebelumnya, Erdogan dan Fathullah Gulen merupakan partner, tetapi kemudian pecah kongsi,” ungkap Helmy.
Ketiga, rezim Erdogan yang belakangan bersikap semakin otoriter telah melahirkan perlawanan-perlawanan dan akhirnya pecah dalam percobaan kudeta yang gagal itu.
“NU sangat berkepentingan agar kondisi Turki terjaga,” tegas Helmy.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani