Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia (RI), DR. H. Muhammad Jusuf Kalla, yang juga sedang mengemban amanat selaku Ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu, telah membuat rancang bangun ekonomi Indonesia masa depan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, menjadi lebih makmur dan sejahtera. Rancang bangun ini dibuat berdasarkan pengalaman hidupnya yang telah lama (puluhan tahun) berkecimpung dalam dunia bisnis dan kewirausahaan di Indonesia, khususnya di berbagai perusahaan Kalla Group milik keluarga besarnya yang didirikan oleh Hadji Kalla dan berbasis di Sulawesi Selatan.
Salah satu tujuan utama pemerintah dalam rancang bangun ekonomi Indonesia di masa depan ialah mempersempit kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi (gap) antara kelompok masyarakat Indonesia yang kaya dan yang miskin dengan pendektan ekonomi yang adil.
Wapres Jusuf Kalla menyatakan hal ini saat menutup secara resmi Kongres Ekonomi Umat 2017 pada Senin (24/4) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat (KPEU) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Sabtu (22/4) hingga Senin (24/4) dengan mengangkat tema: Arus Baru Ekonomi Indonesia.
“Ekonomi kita tumbuh, tapi timbulkan ketidakseimbangan penguasaan ekonomi. Bahaya untuk kedua belah pihak (pelaku usaha), baik kepada yang besar (punya) maupun yang kecil (tidak punya). Masalah-masalah yang kita hadapi ini timbul juga di banyak negara,” tutur Wapres Kalla yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat ini pada Senin (24/4) pagi.
Menurutnya, kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi di Indonesia yang cukup lebar berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat yang mampu secara ekonomi dengan yang tidak mampu. “Ancaman masalah ini semakin serius karena dapat mengganggu stabilitas negara, apalagi jika diimbangi dengan pemerintahan yang tidak adil, maka dapat menimbulkan permasalahan atau kehancuran,” paparnya.
Untuk menyelesaikan problematika ekonomi yang kini dihadapi masyarakat Indoensia, Wapres Jusuf Kalla menawarakan formulasi pertumbuhan ekonomi yang tepat guna dan tepat sasaran, yakni dengan berbagai pertumbuhan di sektor riil ekonomi, termasuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah (umkm).
“Ada dua cara, yang besar kita turunkan atau yang kecil dinaikan, tentu kita tidak ingin turunkan, karena apabila diturunkan akan menimbulkan pengangguran, akan terjadi ekonomi melambat, akan menimbulkan ketidakseimbangan yang lain. Yang benar, kita naikan,” jelasnya.
Sektor riil ekonomi Indonesia, terutama di kalangan pelaku umkm, harus bisa tumbuh dan berkembang pesat untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi Indonesia yang semakin melebar.
“Pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya mengandalkan komoditas (sumber daya alam) seperti sawit dan batu bara, tetapi sektor usaha ukm pun harus ditumbuhkan. Itu yang akan mengurangi kemiskinan dan ketidakseimbangan,” tegas pria kelahiran Watampone, 15 Mei 1942 silam itu.
Untuk merealisasikan agenda bersama pengarusutamaan ekonomi ummat di sektor riil ini, Wapres Kalla pun yakin pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, melainkan harus mengajak semua stakeholder dan komponen bangsa untuk ikut terlibat aktif dalam rencana aksi pemerintah di bidang ekonomi ini.
“Saya harap MUI dan lembaga keagamaan Islam lainnya dapat bersinergi dengan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Masalah Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan bicara. Tidak ada solusi yang dimuculkan dari sekedar berbicara. Tapi, memang tidak bisa juga dilakukan tanpa ada kebijakan yang mendorong pemerataan ekonomi,” ungkapnya.
Wapres Kalla memaparkan hal ini di depan 400 peserta Kongres Ekonomi Ummat 2017 serta para undangan lainnya, termasuk Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terpilih 2017-2022, H. Sandiaga Salahuddin Uno, M.B.A., dan Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat, DR. KH. Makruf Amin.
Hadir pula Ketua Panitia Pelaksana Kongres Ekonomi Umat 2017, Dr. Ir. H. Lukmanul Hakim, M.Si., yang juga Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI, serta Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI, H. Muhammad Azrul Tanjung, M.Si.
– Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Solusi lainnya untuk memperkecil tingat kesenjangan ekonomi, menurut Wapres Kalla, ialah dengan membuat bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) serendah-rendahnya. Kebijakan ini bertujuan agar pengusaha besar tidak semakin besar dan kaya serta pengusaha kecil justru semakin kecil dan miskin. Bahkan pemerintah RI saat ini menargetkan bunga KUR mencapai hanya tujuh persen saja dari saat ini, sembilan persen.
“Kebijakan KUR ini bertujuan untuk menghidupkan kembali pengusaha-pengusaha kecil atau pengusaha umkm agar bisa mendapatkan kue ekonomi di Indonesia. Pemerintah juga terus berupaya menurunkan tingkat bunga KUR. Sekarang kita turunkan bunga KUR jadi sembilan persen, dan kita akan coba turunkan (lagi) tujuh persen,” jelas Wapres Kalla.
Wapres pun memprediksi bahwa akan banyak bank-bank kecil yang berhenti beroperasi dengan kebijakan pemerintah dalam menurunkan suku bunga KUR ini. Namun resiko ini harus berani diambil dan ditanggung oleh pemerintah untuk mempercepat penyaluran KUR kepada para pelaku UMKM.
“Harapannya, tingkat bunga KUR yang rendah dapat mendorong pengembangan bagi pelaku umkm. Mungkin banyak bank-bank kecil yang akan mati, tidak apa-apa. Mereka tentu banyak yang tidak bisa kerja. Tetapi, tentu lebih baik mereka tidak bisa kerja dibandingkan rakyat yang tidak bisa kerja. Rakyat harus kerja, harus dapat layanan lebih baik,” tegasnya.
Dengan pernyataan ini, Wapres Kalla menunjukkan ketegasan sikapnya untuk berpihak kepada pengembangan dan kemajuan ekonomi rill masyarakat Indonesia daripada sektor perbankan yang kalau pun harus ditutup tidak akan berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat. Bagi kakek dari 10 cucu ini, selama pasar tanah abang, pasar baru, dan pasar Senen, serta pasar-pasar lainnya tetap hidup dan melakukan aktifitas ekonomi seperti biasa, maka tidak ada masalah dengan denyut nadi kehidupan riil masyarakat Indonesia.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh para ulama, menurut Wapres yang akrab dipanggil JK ini, ialah menanamkan kesadaran kepada masyarakat Indonesia, khususnya ummat Islam, bahwa kegiatan wira usaha dan gerakan ekonomi ummat merupakan bagian penting dari ibadah.
“Peran ulama sangat penting untuk memberikan dorongan, motivasi, dan informasi kepada umat bahwa kegiatan wira usaha dan gerakan ekonomi merupakan ibadah sosial yang bermanfaat ganda, yakni memakmurkan masyarakat dan memberikan pahala yang baik kepada pelakunya,” ungkapnya.
Seruan Wapres Jusuf Kalla ini berdasarkan kepada contoh langsung (sunnah) dari sejarah hidup (biografi) Rasulullah Muhammad SAW yang mampu menjadi pedagang sukses, jujur, cerdas, dan amanat sebelum menikah dengan Ibunda ummat Islam (ummul Mukminin), Siti Khadijah RA, dan diangkat menjadi Rasulullah. Suri teladan (uswatun hasanah) Rasulullah SAW ini menjadi role model bagi Kalla Group, khususnya Jusuf Kalla, untuk terus mengembangkan bisnis dan memajukan perusahaan keluarganya dengan tetap diimbangi tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pekerjaan dan masyarakat di sekitarnya.
‘Kongres ini adalah niat. Setelah kongres ini jangan begitu (kongres) terus selesai. Ini harus terus ada alokasinya ke kehidupan (ummat) dan ada upaya riil. Bukan kegiatan kongresnya yang penting, tetapi tetapi tindak lanjut (realisasi) dari hasil-hasil kongres ini,” papar Wapres Kalla.
Apalagi, lanjutnya, masyarakat Indonesia bukanlah orang-orang yang malas bekerja untuk mencari nafkah demi dirinya dan keluarganya untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. “Tapi masyarakat saya yakin tidak malas. Buktinya, petani dari Shubuh sampai sore dia mencangkul, apa itu malas?” tegas Wapres yang akrab disapa Daeng Ucu ini.
Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa masalah utama yang dihadapi masyarakat Indonesia, yang masih dalam kondisi pra sejahtera, miskin, dan di bawah garis kemiskinan, ialah akses (jalur) terhadap izin dan modal usaha seperti KUR. “Pemerintah siap memberikan kemudahan dalam regulasinya, terutama di sektor umkm,” ungkapnya.
– Berbagi Kepada Sesama
Wapres Kalla pun mengingatkan kepada para pelaku usaha untuk tidak menikmati sendiri keuntungan dari hasil usahanya, melainkan harus berbagi kepada sesama, terutama warga yang kurang mampu. Berbagi hasil keuntungan usaha kepada kerabat dan tetangga yang membutuhkan merupakan perbuatan mulia dan menjadi nilai ibadah di mata Allah SWT.
“Bentuk ibadah dari berwirausaha ialah dengan memberikan hasil usaha kepada masyarakat yang kurang mampu untuk mensejahterakan mereka. Dulu, ayah saya juga mengatakan bahwa berwirausaha itu ibadah. Hasilnya untuk amal, jangan dinikmati sendiri,” tutur Wapres Kalla pada Senin (24/4), sembari mengingat kembali nasihat ayahandanya, Hadji Kalla.
Saat ini, upaya perusahaan berbagi kepada sesama dan warga di sekitar tempat beroperasinya perusahaan lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Dalam jangka panjang, hal ini sangat bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (sustainable business). Teorinya, semakin perusahaan itu dekat dengan masyarakat, maka produk perusahaan tersebut akan dicintai oleh masyarakat disekitarnya.
Wapres Jusuf Kalla dan keluarganya juga langsung mempraktekan hal ini dengan berbagi kepada sesama, khususnya warga yang tidak mampu. Misalnya, setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, Wapres Jusuf Kalla dan keluarganya secara rutin terus membagi-bagikan bingkisan lebaran berupa bahan-bahan pokok (sembako) kepada warga yang membutuhkan. Bahkan bantuan itu disalurkan melalui berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dan tersebar cukup merata di Indonesia.
Seperti dikutip dari laman http://www.kallagroup.co.id/csr/, CSR perusahaan Kalla Group untuk membantu ummat Islam yang ada di sekitar perusahaan maupun karyawannya yang Muslim meliputi sejumlah program, yakni pembangunan/ renovasi sarana ibadah, pendidikan, dan sosial, pembenahan sound system (akustik) Masjid, serta wakaf Al-Qur’an dan buku-buku agama.
Program lainnya meliputi kegiatan dakwah dan sosial, pembinaan Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA)/ Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), bantuan panti asuhan dan pondok pesantren, pemberian santunan/ sumbanga untuk kegiatan Ramadhan, pendidikan kader ulama, dan bantuan untuk Ibnu Sabil dan Mu’allaf, serta paket lebaran dari pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Termasuk bantuan untuk sekolah Tahfizh Al-Qur’an.
– Pengusaha Etnik Tionghoa
Wapres Jusuf Kalla juga menceritakan sejarah panjang terkait tumbuh dan berkembangnya pengusaha-pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa, sejak era Orde Baru, di masa kepemimpinan Presiden RI, Jenderal TNI H. Muhammad Soeharto. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik Presiden Soeharto yang saat itu tidak mengizinkan Warga Negara Indonesia (WNI) dari etnik Tionghoa untuk berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Akibatnya, mereka hanya bisa berkarir secara profesional di perusahaan swasta atau mendirikan perusahaan swasta (menjadi pebisnis/ pedagang). Itu sebabnya mengapa saat ini, warga Indonesia dari etnik Tionghoa jauh lebih banyak yang menjadi pengusaha dibandingkan dengan warga Indonesia dari etnik-etnik lainnya.
“Kenapa kita kekurangan pengusaha (pribumi) dibandingkan (pengusaha) Tionghoa? Sederhana sekali, karena pengusaha Tionghoa kalau punya anak lima, maka lima-limanya menjadi pengusaha. Karena dulu tidak bisa jadi tentara atau pegawai pemerintah,” papar Wapres Kalla yang juga Ketua Majelis Etik Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) itu pada Senin (24/4).
Misalnya pengusaha tionghoa itu punya toko, lanjutnya, maka anaknya diminta untuk membuat toko yang lain, dan anak-anaknya akan membuka toko lagi. “Jadi mereka membuka toko, usahanya berkembang, dan menjadi pengusaha besar,” ungkapnya. Kondisi ini bertolak-belakang dengan warga Indonesia dari etnik lainnya yang lebih memilih untuk menjadi PNS atau anggota TNI daripda menjdi pedagang dan pebisnis.
“Sedangkan kita ini (pribumi), punya anak lima (hanya) satu (yang) jadi pengusaha, sisanya jadi PNS, tentara, dan sebagainya, Jadinya nggak tambah-tambah pengusahanya. Kadang lanjut usahanya, kadang tidak lanjut juga. Misalnya punya toko, ya toko itu aja,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal ini, maka minat warga, khususnya ummat Islam, untuk menjadi pedagang, pebisnis, maupun pengusaha harus kembali ditumbuhkembangkan. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk MUI dan pemerintah. Ikllim kewirausahaan di Indonesia juga harus diperbaiki, antara lain dengan tindakan tegas aparat keamanan terhadap pungutan liar (pungli), serta pelayanan satu atap untuk proses izin usaha (termasuk sistem e-commerce).
– Pertumbuhan Ekonomi yang Adil dan Merata
Wapres Kalla juga merasa prihatin terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama dari kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah atas. Namun pertumbuhan itu justru hanya sedikit sekali dinikmati oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini tentu dapat menjadi bom waktu dan ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan RI (NKRI), terutama dilihat dari ptensi konflik sosial akibat ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin.
“Ekonomi kita tumbuh, tapi timbulkan ketidakseimbangan penguasaan ekonomi. Bahaya untuk kedua belah pihak (pelaku usaha), baik kepada yang besar (punya) maupun yang kecil (tidak punya). Masalah-masalah yang kita hadapi ini timbul juga di banyak negara. Akibatnya, ketimpangan ekonomi berpotensi menimbulkan konflik bagi suatu negara,” tutur Wapres Kalla pada Senin (24/4).
Saat ini, lanjutnya, banyak pihak yang semakin mengkhawatirkan dampak dari lebarnya kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi di Indonesia. “Ancaman masalah ini semakin serius karena dapat mengganggu stabilitas negara, apalagi jika diimbangi dengan pemerintahan yang tidak adil, maka dapat menimbulkan permasalahan atau kehancuran,” ucapnya.
Wapres Kalla yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini pun yakin jika pemerintah konsisten untuk menumbuhkembangkan sektor umkm, maka kemiskinan dan ketidakseimbangan penguasaan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia dapat dikurangi secara drastis.
“Pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya mengandalkan komoditas seperti sawit dan batu bara, tetapi sektor usaha kecil dan menengah (ukm) juga harus ditumbuhkan. Itu yang akan mengurangi kemiskinan dan ketidakseimbangan,” imbuhnya.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi pemerintah dan ke arah mana pendulum kebijakan itu berpihak dari masa ke masa. Dalam pidato Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1966 silam, Bung Karno pernah menyatakan Jali Merah, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Rangkaian panjang sejarah kebijakan ekonomi pemerintah sangat berpengaruh terhadap kondisi riil perekonomian Indonesia saat ini. Wapres Jusuf Kalla pun menceritakan rangkaian panjang sejarah kebijakan ekonomi itu untuk dipelajari dan diteliti agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.
“Pertama (ialah) kebijakan (ekonomi) tahun 1973, di situ muncul pengusaha-pengusaha pribumi, yang masuk ke (bisnis) devisa, termasuk bapak saya. Dan banyak pengusaha senior yang muncul. Kebijakan ini turut berperan menghadirkan konglomerat dari dalam negeri,” ungkap Wapres Kalla yang juga Ketua Dewan Penasihat Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu.
Setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, lanjutnya, timbullah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 dan 15 yang mendahulukan pengusaha-pengusaha daerah dan modal yang mudah diperoleh. “Ini kebijakan ekonomi kedua,” imbuhnya.
“Peristiwa Malari terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Kakuei Tanaka, berkunjung ke Jakarta. Saat itu, demonstrasi mahasiswa terjadi dan bertujuan menentang masuknya modal asing ke dalam negeri,” papar Wapres Kalla yang juga Ketua Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) itu.
Ketiga, ungkapnya, ialah kebijakan KUR yang bertujuan untuk menghidupkan kembali pengusaha-pengusaha kecil atau umkm agar bisa mendapatkan kue ekonomi di Indonesia. Baru 10 tahun yang lalu pemerintah menyalurkan KUR untuk pengusaha.
“Sayangnya, pemerintah sebelumnya pernah membuat kesalahan dengan meningkatkan jumlah bunga KUR kepada masyarakat hingga mencapai 23%. Pada saat kabinet sebelum ini, kabinet pada saat zaman saya pertama buat KUR, bunganya 11 persen. Tiba-tiba pada kabinet kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bunga KUR itu dinaikkan menjadi 23%,” jelasnya.
Akibatnya, lanjut Wapres Kalla, pengusaha besar semakin kaya dan semakin besar, sedangkan pengusaha kecil semakin kecil. “Kebijakan bunga KUR 23 persen Ini adalah suatu kesalahan yang menimbulkan terjadinya kezaliman,” tegasnya pada Senin (24/4).
– Peran MUI dalam Membangun Ekonomi Ummat
Wapres Kalla pun memberikan apresiasi positif kepada MUI yang mau turun langsung ke lapangan untuk memperkuat dan memberdayakan kembali ekonomi ummat Islam di Indonesia. Tujuannya ialah untuk mempersempit kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi antara kelompok masyarakat yang mampu dengan yang tidak mampu sehingga konflik horizontal antar masyarakat dapat dihindarkan dan keutuhan NKRi tetap terjaga.
“MUI kan mewakili atau membina ummat, jadi (kongres ekonomi) ini dalam kerangka memberikan semangat, memberikan arahan, memberikan sinergi kepada ummat. Jadi, tindak lanjutnya bukan kepada organisasi, tetapi bagaimana agar ummat didorong, diajarkan, dan diberikan motivasi seperti itu. Itu inti, itu follow-up nya,” ucap Wapres Kalla.
Kemudian, lanjutnya, pemerintah juga harus membuat kebijakan yang sesuai dan kondusif untuk pengembangan perekonomian dan kewirausahaan masyarakat. “Itu sebabnya pemerintah membuat kebijakan untuk bagaimana mengurangi kesenjangan (ekonomi), memberikan keadilan, dan distribusi aset,” ujarnya.
Adapun masyarakat umum, imbuhnya, juga perlu didorong untuk bekerja keras dan menumbuhkan kegiatan wira usaha atau bentuk-bentuk perekonomian lainnya (seperti koperasi). Lihatlah gerakan ekonomi ummat seperti dilakukan oleh Gerakan Hikmah di bawah pimpinan Fethullah Gulen.
“Harapan saya, ekonomi umat dapat bangkit dengan membentuk gerakan, bukan dengan membentuk banyak organisasi. Contohlah Turki dengan gerakan Hikmah yang dipelopori oleh Fethullah Gulen dalam mendorong ekonomi ummat,” jelasnya.
Gerakan Fethullah Gulen ini, lanjutnya, berfokus pada bagaimana cara yang tepat untuk menimbulkan semangat dalam dunia usaha di kalangan jama’ahnya, yang akhirya menimbulkan suatu unit usaha di kalangan jamaah.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani