DMI.OR.ID, JAKARTA – Tidak ada perdamaian tanpa peradaban. Sulit mencapai kemajuan peradaban tanpa perdamaian. Kita harus mengedepankan dialog dan menciptakan peradaban. Intinya ialah kedamaian dan kemajuan. Mari kita lihat turun naik dan lika-likunya, setelah Perang Dunia (PD) II dan Perang Dingin, ada begitu banyak konflik, tidak ada keamanan yang terjamin 100 persen.
Wakil Presiden RI, DR. H. Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) DMI, mengawali paparan materinya dengan kalimat-kalimat itu dalam Pidato Peradaban bertema: Dinamika Geopolitik dan Geoekonomi Dunia Apa Strategi Indonesia Menghadapinya? pada Rabu (4/10) pagi di Kantor Sekretariat Wapres, Jakarta.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC) bekerjasama dengan Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) RI.
Wapres Kalla pun mencontohkan peristiwa-peristiwa sosial dan politik yang terjadi di Timur Tengah pasca bergulirnya Arab Spring, revolusi musim semi Arab. “Ada hal menarik di Timur Tengah itu. Semua negara yang bergolak itu biasanya Republik seperti Irak, Suriah, Mesir, Libya, dan Yaman. Lembaganya republik, tetapi partainya otoriter,” tutur Wapres Kalla pada Rabu (4/10).
Sebaliknya, lanjut Wapres, negara yang berbentuk Kingdom atau kesultanan justru nggak apa-apa. Karena ingin mencoba demokrasi, tetapi tidak sesuai dengan tabiat dan kultur mereka. “Kultur mereka itu tribe. Justru di negara kerajaan itu lebih stabil,” ungkapnya.
Menurutnya, terorisme juga bergulir di berbagai belahan dunia seperti di Eropa, Afrika, dan Timur Tengah sesudah meletusnya Arab Spring. Lihat saja ganasnya konflik-konflik di Afrika. Setelah PD II di Eropa, teror radikal itu menjalar juga ke Amerika Serikat (AS).
“Kita baca kemarin masalah aturan (penggunaan) senjata sehingga dalam berapa menit saja puluhan ratusan orang tewas luka (di Las Vegas). Itulah sisi lain peradaban dunia. Mengapa terjadi seperti itu? karena pelaku terorisme sudah kehilangan harapan,” paparnya.
Saat ini, lanjutnya, aksi radikalisme dan terorisme terjadi di hampir seluruh dunia. Salah satu penyebabnya ialah banyak anak muda yang marah karena kehilangan harapan, seperti peristiwa di Columbia University dan juga kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Wapres Kalla juga menyinggung permasalahan demokrasi dan ideologi politik yang saat ini terjadi di Thailand dan Myanmar. “Di Thailand, orang Patani mengaku sebagai orang Melayu, bukan orang Thailand. Sedangkan orang Mynamar tidak mengakui orang Rohingya sebagai warga negara Myanmar,” jelasnya.
Lihat juga, imbuhnya, perseteruan antara pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dengan Presiden AS, Donald Trump. “Kita tidak tahu, dua orang ini apa maunya. Apa yang ada di kepala mereka? rakyat di negaranya saja tidak tahu, apalagi kita? Itulah, bagaimana buruknya politik diAsia ini? Sedangkan AS justru terjebak dengan paham demokrasinya,” ujar Wapres Kalla.
Wapres Kalla pun berpendapat bahwa negara-negara besar seperti AS dan sekutu-seutunya telah memaksakan demokrasi di Iraq sehingga menimbulkan aksi terorisme dan secara tidak langsung ikut melahirkan ISIS.
“Mereka, negara besar, ingin menyebarkan demokrasi dengan cara-cara paksa, bahkan menganggapnya sebagai agama. Pelan-pelan timbul efeknya seperti terorisme dan ISIS di Timur Tengah,” tegas Wapres Kalla.
Berdasarkan pantauan DMI.ORID, acara ini dihadiri oleh ratusan orang yang diundang secara khusus oleh CDCC. Turut hadir dan memberikan sambutan Ketua CDCC, Prof. Dr. H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A.
Hadir pula Ketua PP DMI, Drs. H. Muhammad Natsir Zubaidi, dan Ketua Departemen Sarana, Hukum, dan Waqaf PP DMI, Dr. H. Najamuddin Ramly, M.Si., yang juga Direktur Warisan dan Diplomasi Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani