DMI.OR.ID, NEW YORK – Semangat toleransi dan pemberdayaan umat melalui dialog, komunikasi, serta aktivitas masyarakat sipil dan pemimpin agama terus dilanjutkan di Indonesia, termasuk oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ujung tombak pencegahan terorisme di Indonesia.
Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia (RI), DR. H. Muhammad Jusuf Kalla, menyatakan hal itu di depan lebih dari 100 kepala negara/ kepala pemerintahan pada Selasa (29/9) di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, dalam acara Leaders’ Summit bertajuk Countering ISIL & Violent Extrimism.
“Sebagai dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah menjadi ujung tombak dalam menangkal paham-paham terorisme dan radikalisme, termasuk Islamic State of Iraq and Syria (ISIS),” tutur Wapres Kalla yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada Selasa (29/9).
Dalam teks pidato Wapres Kalla yang diterima DMI.OR.ID pada Rabu (30/9), ia menyatakan terorisme akan muncul ketika praktek-praktek ketidakadilan, kemiskinan dan marjinalisasi masih terjadi di Indonesia.
“Benih-benih terorisme justru tumbuh di lingkungan negara yang memiliki ketidakadilan sosial, marginalisasi, kemiskinan, konflik jangka panjang dan ideologi yang buruk. Aksi terorisme dilakukan karena adanya salah paham mengenai konsep jihad dan ideologi negara yang telah ada sebelumnya,” papar Wapres Kalla yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Menurutnya, penghapusan paksa penguasa otoriter di sejumlah negara sering menyebabkan hilangnya legitimasi politik dan kekosongan kekuasaan di banyak negara. “Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis,” ungkap Wapres Kalla seperti dikutip dari www.dunia.news.viva.co.id.
Wapres Kalla pun mengaku sependapat dengan Presiden Amerika Serikat, Barrack Husein Obama, yang menyerukan agar dunia tidak hanya mengandalkan tenaga militer saja dalam menghadapi terorisme. “Pasalnya, untuk menghadapi anggota kelompok militan seperti ISIS, mereka justru tidak takut terhadap kematian,” ungkapnya.
“Kita memerlukan cara-cara untuk mengembangkan strategi yang lebih komprehensif (menyelruh)saat membicarakan masalah tersebut (terorisme), termasuk bagaimana mempromosikan moderasi dalam ideologi, agama dan politik,” jelasnya.