Oleh RAHMAT HIDAYAT; Sekjen PP Dewan Masjid Indonesia 2024-2029, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hari Raya Idul Adha merupakan hari raya yang diagungkan oleh seluruh umat Islam. Ada dua peristiwa besar yang berkaitan dengan Idul Adha.
Pertama, pelaksanaan ibadah haji. Kedua, pelaksanaan ibadah kurban.
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi segenap umat Islam yang telah memenuhi syarat berkemampuan (istithaah).
Menurut Sayyid Sabiq, ada tiga jenis istithaah, yaitu mampu secara materi atau harta (istithaah maaliyah), mampu secara fisik (istithaah badaniyah), dan mampu secara keamanan (istithaah amniyah) misalkan tak terjadi peperangan atau wadah serta terjamin keamaan perjalanannya.
Allah SWT berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali-Imran [3]: 97).
Bagi umat Islam yang sudah memenuhi syarat diminta untuk menyegerakan pelaksanaan ibadah haji sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Bersegeralah kamu sekalian menunaikan ibadah haji, karena kamu sekalian tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok.”
Bagi umat Islam yang sudah memenuhi syarat diminta untuk menyegerakan pelaksanaan ibadah haji.
Demikian pula bagi umat Islam yang mempunyai keleluasaan rezeki diminta untuk berkurban. Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang mempunyai keleluasaan rezeki hendaklah berkurban.”
Bahkan Nabi SAW mengancam orang yang tidak mau berkuban padahal dia mempunyai kelapangan rezeki, dengen menyatakan, ”Barang siapa yang mempunyai kelapangan rezeki dan dia tidak berkurban, hendaklah kalau meninggal boleh memilih meninggal secara Yahudi atau Nasrani.”
Ibadah haji tahun ini dilaksanakan dalam cuaca yang cukup panas. Kita doakan semoga para tamu Allah (dhuyufurrahman) diberikan perlindungan, kesehatan, dan kemudahan serta memperoleh haji mabrur.
Kemabruran akan diperoleh manakala para tamu Allah SWT bisa mengambil hikmah dari ibadah haji serta meninggalkan segala bentuk perbuatan maksiat (Alladzi la yartakibu shahibuhu makshiatan).
Sebagaimana haji, ibadah kurban merupakan simbolisasi klimaks dari rangkaian ujian berat yang dialami Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail, yang dilaksanakan karena semata-mata taat kepada Allah SWT.
Peristiwa ini merupakan suri teladan dari seorang ayah dan anak yang taat kepada Allah SWT. Peristiwa tersebut diabadikan dalam surah ash-Shaffat [37]: 102-108.
Bagi Nabi Ibrahim, Ismail bukan sekadar anak, melainkan juga idaman hati dan pelipur lara di tengah perjuangan berat melawan penindasan Namrudz saat itu untuk menegakkan tauhid.
Inilah ujian berat yang disebut jihad akbar, yaitu jihad melawan egoisme kemanusiaan yang justru sering menguasai manusia, baik secara individual maupun kolektif dan menyebabkan manusia berpaling dari Allah SWT.
Karena ketabahan dan keikhlasannya, Nabi Ibrahim akhirnya bisa melewati ujian berat tersebut, sehingga Allah SWT menggantinya dengan seekor binatang sembelihan.
Hal ini yang kemudian dijadikan simbol untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT sebagaimana terkadung dalam makna “kurban” itu sendiri.
Allah SWT berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Haj [22]: 37).
Dalam ayat dijelaskan tentang esensi kurban, yaitu meraih ketakwaan dan mengagungkan asma-Nya. Hikmahnya adalah bagaimana membangun semangat berkurban dan tanggung jawab kemanusiaan.
Di dalam ibadah kurban tersirat pesan-pesan ruhani agar kita ikut aktif dan memiliki tanggung jawab kemanusiaan dan sikap berbagi sebagaimana disiratkan Alquran.
“…. dan makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah orang-orang melarat dan fakir.” (QS al-Haj [22]: 28).
Ibadah kurban memberikan pelajaran agar setiap pribadi memiliki empati dan tanggung jawab kemanusiaan yang tinggi. Dengan berempati dan tanggung jawab, kita merasakan denyut penderitaan orang lain dan sekaligus berusaha untuk mengatasinya.
Ibadah kurban memberikan pelajaran agar setiap pribadi memiliki empati dan tanggung jawab kemanusiaan yang tinggi. Dengan berempati dan tanggung jawab, kita merasakan denyut penderitaan orang lain dan sekaligus berusaha untuk mengatasinya.
Banyak masyarakat yang kurang beruntung, seperti warga Palestina yang menderita karena kekejaman Zionis Israel. Mereka sangat membutuhkan bantuan kita semua.
Di momentum Idul Adha ini bagaimana kita mendorong rasa tanggung jawab kemanusiaan untuk berbagi kepada masyarakat yang kurang beruntung, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, terutama di Palestina.
Yakinlah bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan dan kita berikan kepada orang lain akan kembali kepada kita.
Semoga kita dapat melakukan peran kekhalifan di muka bumi dengan melaksanakan tanggung jawab kemanusiaan serta senantia memberikan manfaat bagi orang lain, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Artikel ini telah terbit di Republika dengan URL: https://republika.id/posts/53450/idul-adha-dan-penguatan-tanggung-jawab-kemanusiaan