Gerakan yang senang mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan itu sudah sejak lama terdapat dalam sejarah Islam. Ini bukan gerakan yang sama sekali baru, mungkin tokoh dan mediumnya saja yang baru; isinya sih barang yang sudah lama.
Paling celaka kalau gerakan ini berkolaborasi dengan kekuasaan, maka dari semula hanya mengkafirkan orang lain, kemudian mereka memiliki kekuasaan untuk mengeksekusi siapa saja yang mereka anggap kafir. Mereka senang meminjam tangan penguasa, dan anehnya ada banyak penguasa yang senang berkolaborasi dengan mereka sebagai imbalan mendapat dukungan politik.
Sejarah Islam mengenal kisah tragis para ulama yang dikafirkan dan disiksa karena pandangan-pandangan mereka. Imam Ahmad bin Hanbal bukan saja disiksa karena mempertahankan keyakinannnya bahwa al-Quran itu qadim, pemuka mazhab Hanbali ini pernah juga digeledah rumahnya oleh khalifah karena dicurigai melindungi pengikut Syi’ah.
Imam Syafi’i, guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, pun tidak lepas dari tuduhan Rafidhah (pengikut Syi’ah). Beliau diseret dalam keadaan tangan terbelenggu bersama sekitar 300 orang lainnya.
Mufassir klasik seperti Imam al-Thabari juga dituduh Syi’ah karena dalam salah satu karyanya men-shahihkan Hadis ghadir khum, sedangkan Imam al-Biqai dianggap kafir hanya karena mengutip perjanjian lama dalam kitab tafsirnya.
Imam al-Amidi, pengarang kitab al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, terkena pula tuduhan kafir karena memasukkan unsur filsafat dalam sebagian karyanya. Imam Nasa’i, ahli Hadis terkenal, itu juga babak belur dihajar mereka yang tidak suka dengan riwayat hadis yang disampaikannya tentang Muawiyah.
Imam Abu Hanifah, pemuka mazhab Hanafi, berulangkali disiksa penguasa karena menolak diangkat sebagai hakim. Ibn Taimiyah pun lama dipenjara dan akhirnya meninggal setelah dilarang menggunakan tinta dan kertas selama di penjara.
Daftar ini bisa menjadi sangat panjang dan menimpa ulama dari semua mazhab dan disiplin ilmu. Tuduhan dan fitnah keji itu sudah menjadi menu utama para ulama klasik. Dan sejarah selalu berulang.
Akan tetapi, sejarah mencatat pula bahwa karya-karya para ulama di atas masih dibaca dan dijadikan rujukan ribuan tahun setelah mereka wafat. Dan sejarah jarang mengingat nama-nama penguasa atau kelompok yang memfitnah, mengkafirkan dan menyiksa mereka.
Pada akhirnya, yang akan dikenang dan abadi di hati adalah kontribusi kita untuk ilmu dan umat; bukan caci-maki, fitnah, kafir-mengkafirkan, bid’ah membid’ahkan dan perselingkuhan dengan penguasa untuk membungkam mereka yang berbeda. Kita semua akan dihakimi oleh sejarah peradaban umat sebelum kelak akan berhadapan dengan Sang Maha Hakim.
Teruslah berkarya dan mengabdi pada ilmu dan umat!
Penulis:
Dr. H. Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) Australia – New Zealand