DMI.OR.ID, JAKARTA – Permasalahan waqaf di Indonesia terjadi akibat koordinasi yang lemah diantara para pemangku kebijakan terkait. Hal ini berdampak pada tertatih-tatihnya implementasi dari Program Percepatan Sertifikasi Tanah Waqaf Masjid.
Para pemangku kebijakan terkait Waqaf Masjid yakni Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Waqaf Indonesia (BWI).
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Bidang Sarana, Hukum, dan Waqaf, Drs. H. Muhammad Natsir Zubaidi, menyatakan bahwa proses bottom up dan top down diantara para pemangku kebijakan terkait waqaf menyebabkan lemahnya koordinasi internal mereka.
“Lemahnya koordinasi diantara para pemangku kebijakan terkait waqaf terjadi akibat ada persoalan dalam kebijakan top-down dan bottom-up internal mereka. Untuk mengatasi persoalan ini, DMI telah membentuk tim kecil terkait persoalan sertifikasi tanah waqaf masjid,” tutur Natsir pada Sabtu (5/12) di Masjid Al-Ikhlash, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Jaksel).
Tepatnya, dalam kegiatan bertajuk Program Pendampingan Sertifikasi Tanah Wakaf Masjid & Mushola, dan Pelatihan Keuangan Masjid & Program Pelayanan Masyarakat. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah (PD) DMI Kota Administratif (Kotif) Jaksel dan PP DMI dengan duungan Bank Syariah Mandiri (BSM).
Permasalahan lain terkait waqaf, lanjut Natsir, ialah masalah-masalah internal dan konflik antar pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). “Hal ini terkait erat dengan Nazir (panitia waqaf) dan Waqif (orang yang mewaqafkan) serta permasalahan tanah,” paparnya.
“Kita perlu selesaikan dulu masalah-masalah internal masjid, kaitannya dengan nazir dan waqif. serta persoalan-persoalan tanah. Permasalahan tanah itu ada hubungannya dengan persoalan-persoalan ekonomi, politik, dan hukum,” ungkapnya.
Dilihat dari faktor ekonomi, ujarnya, biasanya para pengembang bangunan (developer) memanfaatkan tanah-tanah waqaf itu untuk pembangunan mall, hotel, dan bangunan komersial lainnya.
“Inilah sebab mengapa mereka sangat mengincar para Nazir. Jika kebetulan keimanan mereka tidak kuat, maka akan terpengaruh untuk menjual tanah sengketa waqaf itu, begitu pun para waqif. Dalam Undang-Undang (UU) Tentang Waqaf, tidak dikenal adanya mantan waqif,” jelasnya.
Dalam UU itu, paparnya, Waqif tidak punya hak lagi untuk membatalkan waqafnya. “Ini adalah amanat UU yang harus diaksanakan,” tegasnya.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani