Sungguh sebuah tragedi kemanusiaan. Bahwa di abad 21 ini yang awalnya diperkirakan sebagai abad kebangkitan dunia, pasca perang dingin, menuju kepada dunia yang lebih aman, damai, berkeadilan dan makmur. Ketika itu banyak pihak yang memperkirakan bahwa teori “benturan peradaban” (clash of civilization) Huntington hanya sebuah bualan yang tak akan menjadi realita.
Dengan jatuhnya Uni Soviet berkeping-keping dan dikenallah kemudian Amerika sebagai super power tunggal dunia, banyak yang menyangka jika dunia kemudian akan menjadi lebih aman. Bahkan bantuan Amerika kepada Mujahidin Afghan yang berhasil menumbangkan pasukan merah itu dianggap “kepahlawanan” dunia.
Ternyata perkiraan Kofi Annan, Sekjen PBB ketika itu, dalam laporan tahunannya di tahun 2000 kepada pertemuan tingkat tinggi dunia (Millennium Summit) bahwa manusia akan memasuki abad baru (new millennium) diliputi oleh rasa takut dan lapar. Manusia masih jauh dari harapan bebas dari ketakutan dan kelaparan (freedom from fear and wants). Semua itu menjadi kenyataan dan mengarah kepada aktualisasi hipotesa Hungtington itu.
Kini dunia itu cenderung mengarah kepada kekhawatiran Kofi Annan. Sejak peristiwa serangan terror ke kota New York yang dikenal dengan tragedi 9/11, diikuti oleh serangan Amerika ke Afghanistan, lalu ke Irak, nampak bahwa hipotesa Hantington bahwa akan terjadi perbenturan antara dunia Barat dan Islam di satu sisi. Dan dunia Barat dan dominasi China di sisi lain semakin nampak.
Benturan-benturan itu nyata. Benar benturan idiologi secara langsung itu tidak. Atau minimal masih terbungkus oleh basa basi diplomasi dunia. Atau mungkin juga masih ditutupi oleh kemunafikan para aktor di dunia internasional.
Tetapi secara tidak langsung sesungguhnya mengamati berbagai konflik saat ini, khususnya konflik Timur Tengah, adalah benturan ideologi (paham dan cara pandang) melalui jembatan jembatan kepentingan ekonomi, yang dipoles oleh berbagai terminologi nilai seperti kemerdekaan, HAM dan demokrasi.
– Arab Spring
Setelah invasi Amerika (dan sekutunya) di Irak dan jatuhnya Saddam Husaen, berbagai gerakan rakyat (peoples’ power movement) tumbuh di berbagai negara kawasan. Mulai di Tunis, diikuti oleh Yaman, Libya, Mesir, bahkan negara-negara Teluk termasuk Bahrain dan Saudi Arabia. Gerakan rakyat yang dikenal saat itu dengan “Arab Spring” (Musim semi Arab) sebagian berhasil seperti Tunis dan Yaman. Sebagian pula dibumi hanguskan seperti Bahrain dan Saudi Arabia. Sebagian pula digandeng oleh kepentingan luar (global) seperti Mesir dan Libya.
Akan tetapi barangkal dari sekian negara yang terimbas konflik Timur Tengah, Irak dan Suriah menjadi konflik yang berkepanjangan. Kata “kepanjangan” ini tidak saja karena rentang waktu yang cukup panjang. Tapi juga karena konflik ini menjadi “kepanjangan” tangan dari kepentingan-kepentingan berbagai pemain (actors).
Presiden Libya, Moammar Khadafi, digulingkan bahkan terbunuh secara tragis, tidak lain karena dendam Saudi yang merasa tidak lagi dihormati oleh Pemimpin negara-negara Afrika itu. Bahkan dalam sebuah pertemuan negara-negara Arab, Khaddafi dan Raja Abdullah ketika itu sempat berperang mulut terbuka di hadapan pembesar-pembesar Arab dan tamu lainnya.
Kegerahan Saudi saat itu sesungguhnya tidak terlalu menarik minat Amerika untuk terlibat. Sehingga wajar jika yang berada di garda terdepan adalah negara-negara Eropa anggota NATO, khususnya Prancis. Hal ini karena Amerika di bawah pemerintahan Bush sesungguhnya telah melumpuhkan Khaddafi. Di mana Khaddafi telah menyerahkan semua potensi negara itu untuk membangun persenjataannya, khususnya di bidang nuklir.
Demikian pula dengan Mesir. Ada kegalauan Amerika untuk terlibat di saat awal bangkitnya revolusi di negeri itu. Salah satu alasan terdepan adalah bahwa Mesir tidak memiliki potensi utuk dipertikaikan oleh berbagai “perpanjangan” tangan tadi. Kepentingan terbesar dari destabilisasi Mesir adalah pengamanan Israel dari kekuatan Islam di Mesir (baca Ikhwanul Muslimun).
Dan sudah tentu, diakui atau tidak, juga karena aktor terdepan gerakan rakyat melawan rejim Mubarak di Mesir adalah Ikhwanul Muslimun, sebuah gerakan sosial politik yang tidak saja dikhawatirkan oleh Israel. Tapi ditakuti oleh banyak kalangan khususnya penguasa Timur Tengah.
– Konflik Irak dan Suriah
Berbeda dengan negara-negara lainnya, konflik di Irak dan Suriah memang sangat khusus. Kekhususan itu karena banyak hal. Tapi yang terpenting adalah terlalu banyaknya kepentingan yang terlibat. Selain kepentingan Israel dari ancaman Hizbullah yang memang digandeng oleh pemerintahan Asad, juga kepentingan Saudi yang menganggap diri sebagai pahlawan Sunni melawan Iran yang memang dedengkotnya kaum Syiah.
Belum lagi kelompok-kelompok internal yang sedang melawan rejim itu yang juga saling bertolak belakang bahkan bermusuhan. Kelompok Jabhat Nur, gerakan Al-Qaidah di Semenanjung Arabia, dan yang paling ekstrim adalah kelompok ISIS atau Daish itu sendiri.
Tapi saya kira yang terpenting dari semua itu adalah pertarungan dua gajah dunia, Amerika dan sekutunya di satu sisi melawan Rusia dan kawan-kawan di sisi seberang. Kedua kekuatan besar sekarang ini sedang bertarung mengadu kekuatan untuk menguasai negara-negara kawasan, minimal membangun pengaruh (influence)m di kawasan itu.
Komplikasi seperti inilah yang menjadikan konflik Irak dan Suriah berkepanjangan, sadis dan menelan korban yang besar. Hampir susah diidentifikasi siapa lawan atau kawan, dan kira-kira hubungan dengan dan untuk kepentingan apa.
Saudi misalnya, dikenal mendukung gerakan resistensi melawan Bashar Al-Asad karena alasan Syiah-nya. Hubungan antara Saudi dan Suriah dari dulu memang tidak pernah harmonis. Banyak perkiraan alasan. Satu di antaranya karena petinggi-petinggi Hamas ketika itu menjadikan Suriah sebagai “save haven”. Sementara Saudi digenjot oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan Hamas.
Namun demikian Saudi bersikap setengah hati dalam memerangi Al-Asad. Hal itu karena di barisan kelompok resistant juga bergabung ISIS, sebuah kekuatan baru di Timur Tengah bahkan global, yang sudah pasti menjadi ancaman bagi Saudi dan sekutunya. Walaupun awalnya, sebagaimana Al-Qaidah, ISIS adalah bentukan kolabirasi intelijen Saudi dan sekutunya ternyata belakangan senjata ini berbalik ingin memangsa tuan. Oleh karenanya memang Saudi dalam hal ini serang mengalami “kegamangan”.
Secara garis besar keterlibatan Saudi dan gangsters di Suriah bertujuan meredam kekuatan Iran yang sangat ditakuti. Ini tentunya karena mimpi buruk Saudi di Irak itu. Kini Irak dikuasai oleh Syiah, dibawah kontrol Iran. Dan ini pula yang menjadikan Saudi kalap mata dengan aksi yang sangat destruktif fi Yaman.
Bedanya, Saudi tidak memiliki dukungan ril dan pasti dalam konflik Suriah. Iran jelas memilki koalisi jelas dan kuat. Yaitu Bashar Al-Asad yang didukung sepenuh hati oleh Rusia.
Lalu bagaimana dengan Amerika dan koalisinya? Bagaimana pula sikap dunia Islam mayoritas?
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation