DMI.OR.ID, JAKARTA – Kekerasan terhadap penduduk Kashmir yang telah dialami sejak 1947 lalu menjadi perhatian utama Duta Besar (Dubes) Republik Islam Pakistan untuk RI, H.E. Mr. Muhammad Aqil Nadeem, saat mennjadi pembicara utamadalam Ambassador Lecture Series (Seri Kuliah Duta Besar) pada Kamis (10/11) sore di Kampus UI, Salemba, Jakarta.
“Teror di Kashmir telah lama menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan Dunia itu juga telah mengeluarkan sejumlah resolusi untuk menyatakan Kashmir sebagai wilayah sengketa dan meminta kedua negara, Kashmir dan India, untuk mengadakan plebisit atau referendum,” papar Dubes Aqil Nadeem pada kamis (10/11),seperti dikutip dari http://dunia.news.viva.co.id/.
Kegiatan ini mengangkat tema: Mempererat Persahabatan Indonesia-Pakistan dengan pembahasan spesifik tentang Kashmir dalam Polemik Hak Asasi Manusia. Acara ini juga didukung oleh Kedutaan Besar (Kedubes) Pakistan di Jakarta.
“Tentara militer India yang berjumlah 700 ribu personil terus-menerus menyerang penduduk Kashmir. Mereka telah membunuh wanita dan anak-anak di bawah umur. Akibatnya, lebih dari 80.000 orang tewas, 100.000 luka berat, ribuan hilang, dan ratusan perempuan menjadi korban pemerkosaan di Kashmir,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, mayoritas penduduk Kashmir, lebih dari 80 persen, adalah Muslim. Konflik di Kashmir juga tidak akan terjadi jika pemerintah India menepati janji-janjinya.
Menurutnya, Pemerintah Kerajaan Inggris telah memberikan kemerdekaan kepada dua anak benua India, India dan Pakistan, di tahun 1947 silam. Saat itu, Pemerintah Inggris, India dan Pakistan juga menyetujui kalau dasar dari partisi (pemisahan) India dan Pakistan adalah mayoritas agama yang dipeluk oleh masing-masing negara bagian.
“Ya, seharusnya, secara otomatis Kashmir masuk dan bergabung dengan Pakistan. Bahkan pada 15 Agustus 1947, rakyat Kashmir menyatakan diri untuk bergabung dengan Pakistan, sekaligus merayakan kemerdekaan Pakistan secara besar-besaran,” tegasnya.
Masalah Kashmir, ungkapnya, terjadi karena mayoritas warga beragama Islam,meskiun saat itu sedang dipimpin oleh raja beragama Hindu. Namun, Sang Rajamenolak keinginan rakyat Kashmir untuk bergabung dengan Pakistan.
“Ketika itu, India datang seperti memanfaatkan situasi ini dan langsung merebut Kashmir pada 27 Oktober 1947 sampai saat ini. Mereka melakukan kecurangan,” imbuhnya.
Berdasarkan pantauan DMI.OR.ID, Kuliah Umum yang berlangsung sangat dinamis dan atraktif ini diselenggarakan oleh Islamic and Middle East Research Centre (IMERC) Universitas Indonesia (UI) bekerjasama dengan Sekolah Kajian Ilmu Strategik dan Global (SKISG) UI dan Program Studi Tiimur Tengah dan Islam (PSTTI) UI.
Kegiatan ini didukung oleh Kedutaan Besar (Kedubes) Republik Islam Pakistan di Jakarta serta menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Dubes Pakistan untuk RI, H.E. Mr. Muhammad Aqil Nadeem, sebagai pembicara utama, dan Atase Pertahanan Kedubes Pakistan di RI, H.E. Mr. Raja Khurram, serta moderator dari PSTTI UI, Drs. H. Nur Munir, M.A.J.S., M.T.S.
Adapun tema yang diangkat dalam Ambassador Lecture ini ialah Mempererat Persahabatan Indonesia-Pakistan dengan pembahasan spesifik tentang Kashmir dalam Polemik Hak Asasi Manusia. Kuliah Umum Duta Besar Pakistan ini dibuka secara langsung oleh Sekretaris PSTTI UI, Dr. KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc., M.A., dan dihadiri Direktur IMERC UI, Dr. H. Hendra Kurniawan, Lc., M.Si.
Terdapat pula sejumlah pertanyaan dari puluhan mahasiswa program pascasarjana UI yang hadir mengenai situasi Kashmir yang seungguhnya dan masa depan wilayah Kashmir, apakah akan menjadi negara sendiri, bergabung dengan India, atau bergabung dengan Pakistan.
Pertanyaan lainnya ialah peran positif apa yang bisa dilakukan oleh para akademisi dan mahasiswa di Indonesia untuk mencari solusi terbaik bagi masa depan wilayah Kashmir, termasuk peran penting media dalam menyuarakan perdamaian dan keadilan serta penegakan HAM dalam masalah internasional, khususnya Kashmir.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani