Salah satu pemimpin Turki paling fenomenal selama lebih dari 15 tahun terakhir, tepatnya sejak tahun 2003 hingga kini, ialah Recep Tayyip Erdoğan yang berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Ia menjadi Perdana Menteri Republik Turki selama lebih dari 11 tahun, tepatnya sejak 14 Maret 2003 hingga 28 Agustus 2014. Lalu, ia terpilih sebagai Presiden Turki sejak 28 Agustus 2014 hingga kini. Jejak kepemimpinan Erdogan di panggung politik Turki tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang pergulatan ide antara sekulerisme dan Kemalisme ala Mustafa Kemal Atatürk versus warisan panjang peradaban Islam ala Dinasti Utsmaniyyah.
Sumber: EPA, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan
Dalam proses pergulatan itu, Erdogan menggunakan strategi politik yang bersifat lunak (soft approach) untuk mendefinisikan kembali pemahaman sekulerime Turki agar sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Salah satu langkah ke arah itu ditempuh dengan menerapkan model sekulerisme yang kini berlaku di mayoritas negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat (AS). Tepatnya, negara tidak akan mencampuri keyakinan religius warga negaranya, termasuk melarang penggunaan simbol-simbol agama seperti Jilbab.
Sumber: Turk Press, Simbol AKP Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Di sisi lain, Erdogan juga secara keras menentang pemberlakuan model sekulerisme secara kaku seperti yang diterapkan di Perancis, yakni pelarangan penggunaan simbol-simbol agama di ranah publik, termasuk jilbab. Penerapan sekulerisme di Perancis membuktikan campur tangan pemerintah terhadap keyakinan religius warga negara sehingga dapat mengganggu kebebasan individu (liberalisme) rakyat Perancis untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Erdogan pun menentang keras pemahaman sekulerisme model Perancis karena jelas sekali melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan prinsip-prinsip kebebasan individu.
Sumber: http://www.voa-islam.com
Seperti dikutip dari laman http://www.dw.com/id/turki-antara-realita-sekularisme-dan-godaan-negara-islam/a-19233247, Muhammad Guntur Romli menulis bahwa Perdana Menteri (PM) Recep Tayyip Erdogan justru mempromosikan sekulerisme model AKP. Dalam kunjungannya ke Mesir pada September 2011, Erdogan menyatakan bahwa: “Sekulerisme tidak anti-agama. Negara Sekuler menerima semua agama, jangan takut dengan sekulerisme, saya berharap Negara Sekuler akan tegak di Mesir”.
Sumber: https://www.eramuslim.com
Pernyataan Erdogan ini tentu direspon dengan kemarahan oleh para elit Kelompok Ikhwanul Muslimin (alarabiya.net, 14 September 2011) yang saat itu sedang berkuasa di Mesir pasca tergulingya Presiden Hosni Mubarak. Lebih lanjut, Guntur Romli juga menulis bahwa PM Erdogan selalu berziarah ke mausoleum (makam) Mustafa Kemal Ataturk setiap kali menang dalam pemilihan umum di Turki, dalam kurun waktu 11 tahun menjadi PM Turki. Hal ini penting untuk menunjukkan loyalitaanya pada asas sekulerisme Turki.
Sumber: http://www.telegraph.co.uk
“Selama 10 tahun berkuasa sebagai PM Turki, Erdogan tidak pernah mengotak-atik konsititusi Turki yang sekuler, tidak menutup hubungan diplomatik dengan Israel, dan tidak berkutik dengan pangkalan militer North Atlantic Treaty Organization (NATO),” ungkap Guntur Romli.
Bahkan, lanjutnya, meskipun Erdogan akan menjadi Presiden Turki selama mungkin 10 tahun lagi (dua periode), meskipun dengan kewenangan yang lebih besar, Erdogan tidak akan mengubah Turki dari Negara Sekuler menjadi Negara Islam, karena opsi tersebut akan berakibat fatal. Pertama, akan ada kudeta dari militer Turki. Kedua, proposal Turki yang sangat ingin masuk ke dalam Uni Eropa pun akan ditolak mentah-mentah. Guntur Romli juga mensinyalir kekhawatiran Erdogan akan terulangnya kembali kudeta militer Turki terhadap Partai Refah pada tahun 1997.
Sumber: www.mediaislamia.com
Kemudian setelah menjadi Presiden Turki, Erdogan kembali menegaskan pandangannya tentang sekulerisme Turki. Seperti dikutip dari laman http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/ global/16/04/27/o69u6q366-erdogan-pertahankan-sekularisme-di-turki, tertulis bahwa dalam kunjungan resmi ke Zagreb, Kroasia, pada 26 April 2016 lalu, Presiden Erdogan menyatakan: “Pandangan saya sudah diketahui soal ini. Realitasnya ialah negara seharusnya punya jarak yang sama dari semua keyakinan agama. Inilah laisisme (kebijakan tidak berdasar pada agama)”.
Pernyataan ini dilakukan untuk merespon statement politik Ketua Parlemen Turki, Ismail Kahraman, yang menegaskan perlunya Republik Turki untuk membuat suatu konstitusi baru yang menghapus rujukan-rujukan kepada sekulerisme. “Turki yang mayoritas berpenduduk Muslim memerlukan sebuah konstitusi agama. Konstitusi itu hendaknya menjamin kebebasan beragama,” tegas Kahraman pada Senin, 25 April 2016 lalu.
Sumber: 21stcenturywire.com
Dalam buku berjudul Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel karya Muhammad Hamdan Basyar, halaman 97-98, tertulis bahwa AKP terus berkibar dalam peta perpolitikan Turki. Mislnya dalam pemilihan umum (pemilu) Turki pada 22 Juli 2007, AKP memperoleh 46, 58 persen suara nasional atau 341 kursi di parlemen Turki. Lalu pada pemilu 12 Juni 2011, AKP kembali memperoleh 49,90 persen suara nasional atau 326 kursi parlemen. Keberhasilan AKP ini tidak terleps dari usaha dan kepribadian pendirinya, Recep Tayyip Erdogan. Apalagi sebelumnya ia bergabung dengan Partai Refah yang dipimpin oleh Necmettin Erbakan.
“Karir politik Erdogan cukup cemerlang karena ia sangat dekat dengan masyarakat kalangan bawah. Ia juga terbiasa bersama-sama rakyat saat melaksanakan pekerjaan kalangan bawah. Pada tahun 1994. Erdogan terpilih menjadi Wali Kota Istanbul. Selama menjadi wali kota, Erddogan menegakkan hukum secara adil dan dengan berani membuat banyak kebijakan yang bersifat pro rakyat,” tulis Muhammad Hamdan Basyar dalam bukunya.
Erdogan, lanjutnya, juga sama sekali tidak risih memakai seragam pekerja dan bersama-sama rakyatnya melakukan pembersihan jalan. Erdogan pun turun sendiri membagikan kursi-kursi roda pada rakyatnya yang memerlukan. Semua itu dilakukannya dengan sungguh-sungguh, bukan sekear formalitas. Bahkan kehidupan keluarganya pun tidak dikatakan mewah. Misalnya, ketika Erdogan mengajurkan kesederhanaan, maka ia dan keluarganya menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan.
Hamdan Basyar pun menyimpulkan bahwa melalui AKP, Erdogan ingin membangun kekuatan Islam dengan diawali dari perjuangan bersama-sama masyarakat dari bawah, baru kemudian menuju dakwah ke atas. Namun strategi politik berbeda dilakukan oleh Erdogan melalui politik luar negerinya yang ingin menggabungkan Turki ke dalam Uni Eropa (UE). “Di dunia internasional, Erdogan justru menggandeng dan memperkuat lobi dengan Uni Eropa,” tulisnya. Strategi politik ini bertujuan untuk menekan kaum sekulari dan militer Turki.
Di halaman 49, Hamdan Basyar juga menulis bawha pada tanggal 10 Agustus 2014, Rakyat Turki untuk pertama kalinya dalam sejarah memilih presiden secara langsung. Saat itu, ada tiga kandidat preiden Turki, yakni Recep Tayyip Erdogan yang juga PM Turki, lalu ada Ekmeleddin Ihsanoglu yang pernah menjabat ekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Selahattin Demirtas, Wakil Ketua Partai Demokratik Rakyat (HDP).
Dalam pemiihan Presiden ini, Erdogan yang diusung oleh AKP berhasil memenangkan pertarugan dengan perolehan suara sebesar 51,8 persen dari suara sah. Sedangkan Ihsanoglu yang dicalonkan oleh koalisi Partai Rakyat Republik (CHP) dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) hnya memperoleh 38,5 persen suara sah. Sementara Demirtas yang dicalonkan oleh HDP hanya menduduki posisi ketiga dengan 9,8 persen suara. Informai ini ia kutip dari laman http://www.hurriyetdailynews.com/erdogan-becomes-12th-president-after-first-public-vote,aspx?PageID=238&NID=70241&NewsCatID=338 yang diunduh pada 11 Agustus 2014.
“Dengan kemenangan Erdogan, maka kursi Presiden Turki tetap dikuasai oleh AKP. Sebelumnya, Abdullah Gul yang juga berasal dari AKP telah menjabat Presiden Turki sejak tahun 2007. Sebagai presiden ke-12 Turki, Erdogan akan menduduki jabatan itu selama lima (5) tahun dan dapat dipilih kembali pada masa kedua,” paparnya dalam tulisan itu.
Menurutnya, sejak amandemen terhadap konstitusi Turki, masa tugas seorang presiden dikurangi dari tujuh tahun menjadi lima tahun. Pemilihan presiden secara langsung telah menambah kekuatan dan legitimasi bagi kekuasaan seorang presiden. Sebelumnya, Presiden Turki dipilih oleh anggota parlemen dengan kekuasaan terbatas. Presiden merupakan seorang kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Jadi pemilihan presiden secara langsung telah mengubah hubungan pola kerja pemerintahan Turki.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani