Suatu hari, sahabat Muadz bin Jabal r.a. shalat Isya berjamaah bersama kaumnya. Di tempat tersebut ia menjadi imam. Sewaktu masih berlangsung jamaah shalat tersebut, salah seorang makmum mufaraqah (keluar dari jamaah), untuk kemudian dia melakukan shalat munfarid (sendirian).
Rupanya, ia merasa keberatan tatkala sang imam membaca Surah al-Baqarah dalam shalatnya. Usai shalat, Muadz ditodong sejumlah pertanyaan dari sebagian jamaah, sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari.
“Apakah kamu berlaku munafik wahai fulan?” tanya salah satu jamaah kepada Muadz.
“Tidak,” jawab Muadz.
Kurang puas dengan jawaban tersebut, mereka mendatangi Rasulullah saw untuk mengadukan persoalan ini.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami para pekerja penyiram bekerja pada siang hari, dan sesungguhnya Mu’adz shalat Isya’ bersamamu, kemudian dia datang mengimami kami dengan membaca surah Al-Baqarah,” protes mereka.
Nabi pun mengklarifikasi persoalan ini kepada Muadz. Setelah mengetahui duduk permasalahan. Nabi kemudian memberikan nasihat kepada sahabatnya itu. “Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’ (al-A’la), atau dengan ‘Wasysyamsi wa dluhaahaa’ (asy-Syams) atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’ (al-Lail)?” tutur Nabi.
“Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah, atau orang yang punya keperluan.”
Begitulah, imam atau pemimpin adalah seorang yang menjadi panutan dan diikuti oleh orang banyak. Maka, dia mesti bisa ngemong (memperhatikan dan melayani kebutuhan) umat. Kebijakan tidak hanya diukur dari kemampuan dirinya, tetapi juga memperhatikan maslahat dan mudarat yang akan menimpa umatnya.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani
Sumber: www.nu.or.id