DMI.OR.ID, JAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI) menolak dengan tegas wacana sertifikasi atau standardisasi terhadap khatib dan da’i oleh pemerintah. Pasalnya sertifikasi itu menjadi ranah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP DMI, Drs. H. Imam Addaruqutni, M.A., menyatakan hal itu pada Senin (13/2) malam, di Kantor Sekretariat DMI Pusat, Jakarta, saat diwawancarai DMI.OR.ID.
”Pemerintah kan menyatakan negara ini bukan negara agama. Berarti negara jangan mencampuri urusan agama. Kalau mencampuri urusan agama, namanya ini negara agama,” tegas Sekjen PP DMI, Imam Addaruqutni. pada Senin (13/2) malam.
Seharusnya, lanjut Imam, pemerintah menunjuk lembaga non-pemerintah seperti MUI untuk melaksanakan pogram sertifikasi terhadap da’i dan khatib itu.
“Penetapan sertifikasi khatib jangan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal itu hanya akan menjadi preseden buruk, bentuk totaliter pemerintah dalam kekuasaannya. Akibatnya, demokrasi tidak akan berkembang,” paparnya.
Menurut Imam yang juga Wakil Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) itu, tugas pemerintah ialah memfasilitasi peningkatan kualitas khatib dan da’i. Tujuannya ialah agar khatib dan da’i lebih memahami visi kebangsaan, seperti melalui penataran.
“Soal penataran khatib dan da’i, itu baru tugas pemerintah untuk menjadi fasilitator, khususnya bagi beberapa khatib dan da’i yang harus diajarkan visi kebangsaan yang lebih tinggi. Tapi selanjutnya, harus dikembalikan ke masyarakat agar terus berkembang,” ucapnya.
Pemerintah, lanjutnya, sudah sewajarnya menempatkan masyarakat dan agama secara horizontal. Jangan menempatkan hubungan tersebut secara vertikal karena pemerintah akan menganggap kritik yang muncul dalam khutbah Jumat sebagai sikap anti pemerintah.
”Kritik lewat khotbah bukan berarti melakukan penggulingan (makar) dan anti-pemerintah. Tetapi, kritik juga tidak boleh menjelek-jelekan. Itu mestinya diperbolehkan,” tegasnya.
Imam pun menegaskan kembali peran dan fungsi masjid sebagai tempat ibadah ummat Islam sekaligus sebagai sarana pemberdayaan umat.
“Dahulu, masjid bukan hanya menjadi tempat untuk beribadah saja, tetapi juga menjadi tempat sarana pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, masjid juga bukanlah alat negara atau milik kekuasaan negara,” imbuhnya.
Penulis: Muhamamd Ibrahim Hamdani