Peristiwa coup de’ etat (kudeta) yang dilakukan oleh militer Mesir dibawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah Al Sisi, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, pada Rabu, 3 Juli 2013, terhadap Muhammad Mursi, Presiden Konstitusional Mesir yang sah dan legitimate, merupakan anti-klimaks (titik balik) dari perkembangan demokrasi di Mesir.
Sumber: Reuters/ Stringer
Sebelum kudeta terjadi, pihak militer Mesir telah mengultimatum Presiden Muhammad Mursi untuk berkompromi dan berbagi kekuasaan guna menyelamatkan negara dari keadaan bahaya (chaos) dalam waktu selambat-lambatnya 48 jam sejak Senin, 1 Juli 2013. Jika tidak dilakukan maka militer akan melakukan ‘langkah sendiri’ untuk menyelamatkan negara.
“Jika tuntutan rakyat tidak direalisasikan dalam periode tertentu, maka (militer) akan berkewajiban mengumumkan peta jalan untuk masa depan,” tegas Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mesir, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi. Melalui televisi nasional militer menyatakan bahwa bangsa Mesir dalam bahaya setelah jutaan orang Mesir turun ke jalan pada Minggu, 30 Juni 2013, dengan tututan agar Presiden Mursi mundur dan markas ikhwanul Muslimin digeledah.
Sumber: almasryalyoum.com
Senada dengan seruan militer, Kelompok Oposisi Front Pembebasan Nasional (NSF) membuat sebuah petisi bersama untuk menyerukan digelarnya pemilu sela guna memilih pemimpin Mesir yang baru. Bahkan dua puluh dua juta warga Mesir telah membubuhkan tanda tangan mereka dalam petisi tersebut.
Pasca pengambilalihan kekuasaan pihak militer mengumumkan “Peta Jalan Bagi Masa Depan Mesir” yang berisi pencabutan mandat terhadap Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir dan diangkatnya Adly Mansour, Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir, sebagai Presiden Ad-interim atau Pelaksana Tugas-Tugas Presiden Mesir.
Sumber: Al-Arabiya
Pihak militer kemudian membekukan konstitusi Mesir serta berencana membentuk komite independen yang beranggotakan berbagai macam unsur masyarakat untuk menyusun konstitusi baru Mesir.Bahkan pengumuman “Peta Jalan Bagi Masa Depan Mesir” oleh pihak militer juga dihadiri oleh berbagai pihak seperti Syeikh Agung Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al-Thayeb, Pemimpin Gereja Koptik Mesir, Baba Tawadrous II, dan Tokoh Oposisi Mesir, Muhammad El-Baradei. Ketiga tokoh nasional Mesir itu juga memberikan tanggapan singkatnya terhadap kudeta militer baik yang bernada netral maupun mendukung secara terang-terangan.
Dalam pertemuan tersebut Syeikh Agung Al Azhar Asy Syarif, Prof. Dr. Ahmed Al Thayeb, menyatakan: “Ini jalan terbaik untuk masa depan Mesir yang lebih baik”. Pernyataan senada dinyatakan oleh Pemimpin Kharismatik Gereja Koptik, Baba Tawadrous II: “Peta jalan itu disusun oleh para tokoh terhormat dan mencerminkan bahwa Angkatan Bersenjata mencintai negaranya dengan ikhlas”. Bahkan keduanya sempat bertemu dengan pihak militer dan tokoh-tokoh oposisi seperti Mohammed El Baradei sebelum pengumuman itu berlangsung.
Sumber: Egypt Independen
Kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi mendapatkan penolakan dan perlawanan keras dari partai politik pro pemerintah, Freedom and Justice Party (FJP), organisasi Islam terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin (IM) dan Aliansi Anti-kudeta. Dalam pernyataan resminya, Presiden Mursi menegaskan bahwa dirinya tidak akan mundur karena menjabat secara sah sejak tahun lalu melalui pemilihan umum (pemilu) yang demokratis. Rekonsiliasi nasional juga akan tetap diupayakan terlepas dari apa pun perbedan pandangan pandangan di kalangan rakyat.
Presiden Mursi menegaskan bahwa: “Rakyat Mesir memberi saya mandat sebagai presiden. Mereka memilih saya dalam pemilihan umum yang bebas. Orang-orang menciptakan sebuah konstitusi yang mengharuskan saya untuk menaati konstitusi”. “Saya tidak punya pilihan selain memikul tanggung jawab dari konstitusi Mesir,” seru Presiden dalam pidato yang disiarkan televisi nasional tersebut.
Sumber: http://www.telegraph.co.uk
Pernyataan senada juga dinyatakan oleh faksi IM dan FJP yang menyebut ultimatum dari militer itu sebagai bentuk kudeta karena sejumlah jenderal menyatakan bakal menerapkan cara mereka sendiri bila seruan mereka tidak dipenuhi. Hal ini dipertegas dengan pernyataan resmi Kantor Presiden Mesir: “Presiden merasa tidak diberi tahu sebelumnya soal pernyataan yang dikeluarkan pihak militer. Presiden melihat ada beberapa pernyataan yang maknanya bisa membingungkan situasi nasional”.
Kudeta politik yang dilakukan oleh militer Mesir merupakan tindakan yang bertentangan dengan etika, moral dan prinsip-prinsip umum demokrasi yang sangat menjunjung tinggi supremasi pemerintahan sipil terhadap militer. Apalagi Presiden Muhammad Mursi dipilih secara langsung oleh Rakyat Mesir melalui pemilihan umum (pemilu) tahun 2012 sehingga kudeta militer tersebut merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan mandat rakyat Mesir.
Sumber: Majalah Times
Terdapat pula beragam aspirasi rakyat Mesir yang harus kita hormati dan hargai seperti yang telah disampaikanoleh kelompok-kelompok oposisi Mesir, kalangan akademisi, kelompok rohaniwan Islam maupun Kristen Koptik, dan kelompok militer serta partai-partai pro pemerintah. Termasuk tanggapan dan respon singkat dari tokoh-tokoh masyarakat Mesir pada saat pengumuman “Peta Jalan Bagi Masa Depan Mesir” oleh pihak militer.
Pernyataan sejumlah pemuka agama Mesir, khususnya Syeikh Agung Al-Azhar, dapat dipahami sebagai suatu sikap al-ijtihad asy-siyasi atau “pilihan politik” yang diambil berdasarkan qaidah fiqih Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut oleh Universitas Al-Azhar. Qaidah fiqih tersebut adalah “darul mafaasid muqaddamun ala jalbil mashalih”, yang berarti “Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat”. Konteks peristiwa pergolakan politik di Mesir ketika itu menjadi alasan utama bagi Universitas Al-Azhar untuk mengambil sikap demikian.
Pope Tawadros II, gereja Koptik Mesir, Sumber: http://www.mygodpictures.com
Mempertahankan Presiden Muhammad Mursi pasca kudeta militer sama artinya dengan membuka kemungkinan terjadinya perang saudara (sipil)antar bangsa Mesir sendiri,yang tentu sangat tidak seimbang, antara pihak pro/ pendukung dengan pihak oposisi/ anti Presiden. Di pihak lain tentara juga tidak solid mendukung pemerintahan Presiden Mursisehingga dapat menyebabkan perpecahan internal yang serius dan dualisme kepemimpinan di tubuh militer Mesir.
Akibatnya adalah keamanan dalam negeri yang tidak terjamin dan intervensi pihak asing terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Mesir. Dampak dari berbagai kemungkinan tersebut dapat menyebabkan Mesir menjadi Negara Gagal (Failed State), kacau-balau, penuh huru-hara dan konflik serta tidak terkendali (chaos). Berbagai macam kemungkinan inilah yang menyebabkan pihak Universitas Al-Azhar bersikap untuk tidak menentang kudeta militer Mesir terhadap Presiden Muhammad Mursi.
Adapun sikap tegas Presiden Muhammad Mursi dapat dipahami sebagai suatu konsekuensi logis dari pendirian Presiden bahwa militer Mesir telah melakukan pemberontakan (bughat) terhadap pemerintahan yang sah dan legitimate hasil pemilihan umum. Militer Mesir juga dianggap melanggar konstitusi Mesir, mencederai nilai-nilai demokrasi dan dicurigai hendak mengembalikan kekuasaan otoritarian pihak militer seperti di masa pemerintahan mantan Presiden Husni Mubarok.
Sikap Presiden ini mendapatkan dukungan yang sangat kuat, radikal dan militan dari partai pro pemerintah (FJP), sebagian pejabat tinggi Partai An-Nour dan organisasi IM serta Aliansi Anti Kudeta Mesir. Mereka menganggap bahwa militer Mesir telah melakukan tindakan bughat (pemberontakan) terhadap pemerintahan Presiden Mursi sehingga tindakan makar tersebut wajib dilawan, diperangi dan digagalkan sesuai dengan hukum qishash (pembalasan secara adil dan setimpal) dalam syari’at Islam.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/46756/krisis-politik-di-mesir