“Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan ekonomi, kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan. Ekonomi penting untuk membangun negara dan menciptakan kesejahteraan umat”.
Ibnu Khaldun (1332-1406)
Kutipan di atas sudah sejak lama dikumandangkan oleh lelaki kelahiran Tunisia 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. Selain dikenal sebagai sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam, Beliau juga dikenal sebagai Bapak Ekonomi Islam.
Bukan berlebihan jika Beliau menyandang gelar itu, pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis telah lama ditemukannya sebelum Adam Smith (1732-1790).
Jauh sebelum itu, Rasulullah SAW (570-632) juga dikenal sebagai pedagang yang jujur dan amanah. Beliau menyadari betul bahwa dalam membangun sebuah peradaban, selain membangun akhlaknya, penting juga memperkuat dirinya dengan senjata ekonomi tersebut.
Rasulullah SAW membuat kebijakan dengan membangun Masjid sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat dalam menguatkan tali silaturrahim antar sesama manusia.
Masjid selain sebagai tempat untuk memperkokoh pengetahuan tentang ajaran Islam di akhirat, sekaligus memperkokoh pengetahuan tentang ajaran Islam di dunia. Di Masjid, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai tempat yang sangat beragam.
Mulai dari wadah untuk membina dan mengurusi seluruh kepentingan ummat, baik dalam bidang politik, sosial, pendidikan, militer, budaya, terlebih lagi ekonomi. Zaman sekarang, mayoritas Masjid di Indonesia lebih berdimensi akhirat saja.
Jamaah Masjid akan membludak pada hari jumat dan pada waktu menjelang waktu shalat saja, apalagi pada saat bulan Ramadhan. Tentu ini patut kita syukuri, tapi alangkah lebih mulia lagi jika Masjid kita kembalikan ke fitrahnya seperti yang dilakukan Rasulullah SAW di atas.
Zaman sekarang pula, kesenjangan antar Masjid begitu menganga. Misalnya di sekitaran Menteng Jakarta Pusat yang kita temukan, Masjid Agung Sunda Kelapa dengan beberapa Masjid yang terletak di sekitarnya.
Masjid yang satu, memiliki saldo kas jumatan puluhan juta rupiah, yang lainnya masih mengais sumbangan sambil menyodorkan jaring di pinggir hingga di tengah jalan.
Banyak Masjid yang berdiri anggun, cantik nan megah, namun di sekitarnya kita temukan banyak warga yang kondisi ekonominya jauh di bawah kewajaran. Tak sedikit, Masjid kita dibekali dengan tanah yang lapang, tapi miskin produktifitas.
Karena itu, masyarakat khususnya pemuda merasa kehilangan harapan pada Masjid. Bahkan ada Masjid di bilangan Jakarta Barat yang konon sudah tak berdaya lagi ditinggal para penghuninya.
Masjid dan Pemuda adalah Kunci
Kita perlu membangun keyakinan bahwa Pemuda adalah masa depan dan Masjid adalah pusat peradaban. Dari keduanyalah kondisi ekonomi, politik, budaya, sosial, dan yang lain akan tumbuh lebih baik.
Pemuda tersebar dari pelosok desa hingga gemerlapnya ibukota. Satu dari empat orang Indonesia adalah Pemuda. Begitupun Masjid, kita hampir tak sulit menemukan Masjid disemua daerah, dimana Islam sebagai agama minoritas sekalipun selama kita masih berada di Indonesia.
Di semua penjuru dunia dalam segala lintasan waktu, pemuda selalu berfungsi sebagai agen of change. Pemuda memiliki elan vital dalam memperjuangkan apapun yang dikehendakinya. Mendikte pemuda dalam berkarya apalagi ingin membendungnya adalah bentuk kesia-siaan belaka.
Pengalaman saya menguji tesis ini tentu sejak saya beranjak menjadi Pemuda, sekitar 16 tahun lalu. Saya lalu mengujinya kembali dengan teman-teman Remaja/Pemuda aktivis pengajian di Masjid sekitar bulan November 2017 lalu.
Kita bersepakat membentuk satu komunitas yang kita beri nama ISYEF (Indonesian Islamic Youth Economic Forum). Komunitas ini kini telah menjadi gerakan baru Pemuda lintas komunitas juga lintas golongan.
Semata-mata bertujuan untuk bergotong royong dalam rangka mengembalikan Masjid kembali pada semangat awalnya, sebagai pusat peradaban Islam.
Kami merasa penting untuk terlibat dengan apa yang diharapkan Dewan Masjid Indonesia, memakmurkan dan dimakmurkan Masjid.
Kata Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, yang juga sebagai Ketua Umum DMI, Indonesia kurang lebih memiliki 800.000 masjid dan mushola, terbesar di dunia.
Jika masing-masing masjid tersebut mempunyai program bagaimana memakmurkan jamaahnya, memakmurkan wilayah sekitarnya, maka segala perubahan yang kita mimpikan akan segera terwujud.
Masalah-masalah ekonomi dan sosial seperti kesenjangan juga kemiskinan yang tak pernah habis kita bicarakan perlahan-lahan akan semakin berkurang. Sekalipun soal-soal merebaknya politik identitas dan yang lainnya.
Juga berdasarkan data dari Merial Institute, masalah-masalah pemuda seperti urbanisasi pemuda desa ke kota yang semakin besar, pemuda kian sakit-sakitan, juga masalah pengangguran pemuda yang sangat besar
Persoalan urbanisasi pemuda bisa jadi akan ditemukan jawabannya dengan mengaktivasi peran pemuda di Masjid. Penulis selalu membangun angan-angan agar Masjid bisa menjadi Youth Center, pusat aktivitas pemuda.
Mereka bekerja disana, berdagang, berpolitik, juga melakukan aktivitas sosial. Masjid sebagai masa depan pemuda yang darinya lahir banyak tokoh-tokoh masa depan Indonesia di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Masjid menjadi wadah pemuda untuk berekspresi secara positif, mungkin juga akan bersamaan dengan lahirnya Youth Center di Gereja, Vihara, Klenteng, Pura, atau tempat-tempat ibadah yang lain. Semoga!
Penulis: drg. Muhammad Arief Rosyid Hasan, M. Kes.
Ketua Departemen Kaderisasi Pemuda dan Remaja Masjid Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia.