Republik Irak (Al-Jumhuriyah Al-Iraqiyah) telah mewarisi kawasan Mesopotamia yang terletak diantara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris serta memiliki catatan sejarah panjang peradaban manusia sejak sekitar 5000 Sebelum Masehi (SM). Berbagai bangsa di dunia telah membangun peradaban besar dan sejarah panjang di kawasan Mesopotamia seperti bangsa Sumeria, Akkadia, Babilonia, dan Assyiria. Sedangkan bangsa-bangsa lainnya berhasil menguasai wilayah ini seperti bangsa Persia, Makedonia, Arab, Mongol, Persia, hingga Turki.
Dalam buku berjudul Kisah di Balik Perang Teluk 1990 – 1991 (2014: hlm. 47-50) karya Yussuf Solichien, tertulis bahwa Charles Tripp menulis dalam bukunya, A History of Iraq, tentang kata Iraq yang berasal dari kata Al-Iraq yang berarti tanah pinggiran di sepanjang sungai, termasuk tanah penggembalaan di sekitar pinggiran sungai itu. Terminologi Irak telah digunakan oleh ahli geografi Arab sejak abad VIII Masehi. Mereka melihat kenyataan bahwa geografi Irak merupakan taah datar yang luas di sepanjang Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Sedangkan Bangsa Eropa mengenalnya dengan nama Mesopotamia.
Pada 11 November 1920, Irak secara resmi menjadi wilayah mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB) di bawah kendali Kerajaan Inggris dengan nama resmi “Negara Irak”. Inggris berhasil menjatuhkan kekuasaan Monarki Hashemi (sekarang Yardania) di Irak. Bahkan Inggris secara sepihak telah menentukan batas-batas teritorial Irak tanpa memperhatkan kondisi politik serta perbedaan suku, agama, dan ras yang ada di Irak, khususnya terhadap Suku Kurdia dan Suriah di wilyah Utara.
Selama menjadi wilayah mandat Kerajaan Inggris, Suku Kurdi dan kelompok Syiah terus melakukan perlawanan untuk mencapai kemerdekaannya, namun tidak pernah berhasil. Dampaknya, Pemerintah Inggris menempuh kebijakan untuk bekerjasama degan minoritas kelompok Sunni di Irak. Inggris pun mendukung kaum tradisional, pemimpin Sunni, dan gerakan nasionalis di berbagai pedesaan di Irak. lebih jauh, Pemerintah Kerajaan Inggris juga mengeluarkan berbagai peraturn dan ketentuan yang terkait dengan hak-hak atas tanah, sengketa pertanahan, dan urusn sewa-menyewa tanah di Irak. Bahkan Inggrs tidak segan-segan untuk mengerahkan kekuatan militer guna memperkuat kekuasaannya di Irak.
Pemerintah Inggris kemudian menyelenggarakan jejak pendapat di Irak untuk memilih pemimpin Irak yang bisa melaksanakan kebijakan pemerintah Inggris di Irak pada tahun 1921. Akhirnya, jajak pendapat ini berhasil memberikan legitimasi dan memproklamirkan kekuasaan Emir Faisal sebagai Raja Irak. Namun kemerdekaan yang sesungguhnya baru bisa dirasakan rakyat Irak pada Tahun 1932, ketika mandat Inggris atas Irak (termasuk Suriah) berakhir.
Raja Faisal I Lambang Kerajaan Irak
Bendera Irak di Masa Monarki (1921 – 1959)
Raja bernama lengkap Faisal bin Hussein bin Ali Al-Hasyimi ini menjadi penguasa wilayah Irak dan Suriah pada 23 Agustus 1921 berdasarkan mandat Kerajaan Inggris dan jajak pendapat di Irak dan Suriah. Ia adalah putra dari Syarif Hussein di Makkah, penguasa dua kota suci ummat Islam, Makkah dan Madinah, di masa kekuasaan Dinasti Utsmaniyyah.
Dalam buku berjudul Tentara Bayaran AS di Irak karya Wirawan Sukarwo (2009: hlm: 86), tertulis bahwa sejak dicabutnya mandat Inggris atas Irak pada 3 Oktober 1932, maka Irak memasuki era baru, yaitu masa kemerdekaan. Masa ini dimulai dengan kekuasaan monarki sebagai bentuk pemerintahan di Irak. Kekuasaan monarki (kerajaan) Irak berlangsung dalam kurun waktu 26 tahun hingga tahun 1958.
Pada masa awal kekuasaan monarki di Irak, negara-negara Barat sangat mendukung Kerajaan Irak. Salah satu sebab dukungan itu ialah isi kesepakatan dalam Pakta Baghdad yang menyebutkan bahwa Irak ikut mendukung penaklukan Republik Arab Persatuan (RAP) di Mesir. Anggota-anggota RAP terdiri dari Mesir dan Suriah. Kedua negara itu sangat gigih dalam menentang pendudukan Israel terhadap Palestina.
Meskipun demikian, sering terjadi aksi pemberontakan yang menuntut diubahnya sistem pemerintahan dari monarki ke republik. Berbagai pemberontakan itu terjadi karena pemerintah kerajaan dianggap tidak dapat mengakomodasi (memenuhi) keentingan mendasar rakyat Irak.Pemerintah kerajaan juga dianggap sebagai boneka Kerajaan Inggris. Apalagi kelurga kerajaan mempraktekkan gaya hidup mewah yang sangat tidak sesuai dengan kondisi rakyat pada umumnya.
Mengutip dari buku Runtuhnya Feodalisme Irak karya Ibrahim L (1959, hlm 25), Wirawan Sukarwo menulis bahwa sebelum kemerdekaan Irak tercapai, pemerintah Kerajaan Inggris dan tokoh-tokoh politik Irak telah mengadakan pembicaraan mengenai pemeritahan Irak pasca kemerdekaan. Salah satu tokoh Irak yang dproyeksikan menjadi raja ialah Amir Faisal. Tepatnya, melalui Perjanjian Versailles yang diselenggarakan di Kota Versailes, Perancis.
Sebelumnya Syarif Hussein, Gubernur Wilayah Arabia di masa DInasti Utsmaniyyah berkuasa, telah membut kesepakatan dengan Kerajaan Inggris untuk memberontak terhadap kekuasaan Utsmaniyyah dengan imbalan dirinya diangkat sebagai raja di wilayah Arab. Kesepakatan ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk pengangkatan kedua anak Syarif Hussein di wilayah Irak dan Yordania. Jadi Raja Faisal I dari Irak adalah anak dari Syarif Hussein.
Dalam bukunya, Yussuf Solichien M. (Ibid., hlm 51) juga menulis bahwa pemerintahan Raja Faisal berhasil meningkatkan pembangunan ekonomi Irak dengan ditemukannya ladang minyak yang sangat besar di sekitar Kota Kirkuk pada 1927. Kota Kirkuk terletak sekitar 236 kilometer di sebelah utara ibu kota Baghdad, Irak. Itu sebabnya, di bawah perlindugan Kerajaan Inggris, Raja Faisal relatif bisa memerintah Irak hingga wafat pada 8 September 1933, hampir satu tahun setelah mandat Kerajaan Inggris berakhir.
Kemudian pemerintahan Irak dilanjutkan oleh putra mahkota satu-satunya Raja Faisal I, yakni Raja Ghazi I atau Ghazi bin Faisal bin Hussein yang mulai memerintah Irak sejak 8 September 1933 hingga 4 April 1939. Raja Ghazi I mengeluarkan sejumlah kebijakan penting selama masa pemerintahannya, yakni memproklamirkan bahwa kekuasaan Irak mencakup wilayah Kuwait di Selatan. Kekuasaan Raja Ghazi hanya berlangsung selama lima tahun karena sang raja meninggal dunia akibat kecelakaan pada 4 April 1939 dan digantikan oleh putranya, Raja Faisal II atau Faisal bin Ghazi bin Faisal bin Hussein.
Raja Ghazi
Raja Faisal II naik tahta pada usia 3 tahun dan menggantikan ayahandanya yang meninggal dunia karena kecelakaan. Namun karena belum cukup umur, kekuasaan kerajaan dipegang oleh pamannya, Abdallah, sebagai Wali Raja hingga Raja Faisal cukup umur. Wali Raja, Abdullah, berkuasa sejak 4 April 1939 hingga 2 Mei 1953. Raja Faisal II pun baru mendapatkan kekuasaan penuh sebagai Raja Irak pada 2 Mei 1953. Selama Wali Raja, Abdullah, berkuasa, Irak berperan penting dalam politik luar negeri Timur Tengah serta aktif dalam perang Arab-Israel.
Raja Faisal II (1953 – 1958)
Yussuf Solichien M. juga menulis bahwa Wali Raja, Abdallah, membawa Irak menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 serta ikut mendirikan Liga Arab di tahun yang sama. Bahkan saat negara Israel didirikan pada tahun 1948, Irak bersama lima negara Arab lainnya ikut berperang melawan Israel hingga terjadinya gencatan senjata yang ditandatangani pada Mei 1949. Namun perang melawan Israel ini sangat berdampak negatif terhadap perekonomian Irak. Pasalnya pemerintah harus megalokasikan anggaran negara sebesar 40 persen bagi angkatan perang Irak serta membiayai pengungsi Palestina.
Pangeran Abdullah, Wali Raja Irak (1939 – 1953)
Ketika kekuasaan Irak secara penuh telah diambil alih oleh Raja Faisal II, Irak ikut menandatangani Pakta Baghdad pada tahun 1956 bersama-sama dengan Turki, Iran, Pakistan, dan Inggris. Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser, mengkampanyekan anti-monarki di Irak dan memimpin RAP dengan anggota Suriah. Ia dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan Raja Faisal II di Irak. Namun kekuasaan Raja Faisal II di Irak berakhir tragis dengan meletusnya revolusi Irak di bawah pimpinan Mayor Jenderal Abdul Karim Qassim pada 14 Juli 1958.
Mengutip dari buku karya Geoff Simons (1994, hlm 198), Wirawan Sukarwo (Op. Cit, hlm 88) menulis bahwa puncak pemberontakan terhadap kekuasaan monarki di Irak ialah peristiwa kudeta berdarah pada 14 Juli tahun 1958.Kudeta ini dipimpin oleh Mayor Jenderal Abdul Karim Qasim dan didukung oleh banyak perwira dalam tubuh angkatan bersenjata Irak. Mayjend Abdul Karim Qasim ialah
Akhirnya, kudeta militer ini berhasil mengguingkan kekuasaan monarki Irak secara paksa dan mengubahnya ke dalam bentuk Republik Irak hingga kini. Bahkan Raja Faisal II beserta seluruh keluarganya dihukum mati dengan cara diikat di sebuah mobil jeep, lalu mobil itu dikemudikan di jalanan kota Baghdad. Selain itu, Pangeran Amir Abdullah yang menjabat sebagai penasihat politik kerajaan juga ikut dibunuh oleh pemberontak. Kemudian, Jenderal Abdul Karim Qasim pun diangkat menjadi Presiden Irak pertama periode 1958 – 1963.
Mayor Jenderal Abdul Karim Qasim, Presiden Pertama Irak (1958 – 1963).
Bendera Irak Pasca Revolusi, Masa Presiden Abdul Karim Qasim (1958 – 1963).
Sebelumnya, pernah terjadi pemberontakan besar yang didalangi oleh militer Irak pada tahun 1936. Pemberontakan ini dipimpin oleh Jenderal Bakar Sidqi yang menganut ideologi sosialis dan berasal dari suku Kurdi. Ia juga seorang pengagum pemimpin Italia di era Perang Dunia II, Benito Musollini. Pemberontakan besar ini berhasil menggulingkan kekuasaan Perdana Menteri Jassin Al-Hasyimi. Ia terbunuh dalam kudeta ini bersama beberapa menteri di kabinetnya, namun tidak sampai melukai anggota keluarga Kerajan Irak.
Salah satu hal yang memberi inspirasi kepada kelompok militer di Irak untuk menggulingkan rezim monarki feodal Irak di bawah pimpinan Raja Faisal II ialah pertempuran Suez antara Mesir dan Kerajaan Inggris pada tahun 1956. kelompok militer di Irak melihat Mesir yang dipimpin oleh Presiden Gamal Abdul Nasser sebagai negara yang mampu membangkitkan persatuan nasional dan menjamin kehidupan bagi rakyat Arab.
Sebenarnya, selama masa pemerintahan monarki di Irak, sejak Raja Faisal I, Raja Ghazi I, hingga Raja Faisal II, kekuasaan di Irak telah didelegasikan sebagian kepada Perdana Menteri sebagai pelaksana eksekutif pemerintahan sehari-hari di Irak. Bahkan terjadi pergantian Perdana Menteri hingga 27 kali selama masa pemerintahan monarki di Irak.
Artinya, ada pembagian kekuasaan antara raja sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Di masa pemerintahan Raja Faisal I, selama berada di bawah mandat (protektorat) Kerajaan Inggris, terdapat tujuh orang perdana menteri dengan 11 kali pergantian jabatan PM (4 orang PM menjabat lebih dari satu kali). Setelah berakhirnya masa protektorat Inggris atas Irak, terdapat 16 perdana menteri dengan 35 kali pergantan jabatan PM (7 orang PM menjabat lebih dari satu kali. Diantara PM yang terkenal hingga menjabat sampai delapan kali di masa monarki Irak ialah P.M. Nuri Al-Said.
Perdana Menteri Nuri Al-Said (delapan kali menjabat PM di Irak masa Monarki)
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani